dr Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943) dulu menjadi tenaga kesehatan garda terdepan dalam perang melawan wabah pes. Gara-gara aksi heroiknya, dia diganjar bintang jasa oleh pemerintah, namun bintang jasanya dia pasang di pantat.
Tjipto adalah dokter yang pemberani, bahkan menangani pasien wabah tanpa alat pelindung diri (APD). Kiprah Tjipto diceritakan oleh Syefri Luwis dalam bukunya ‘Epidemi Penyakit Pes di Malang: 1911-1916’, dirilis penerbit Kendi, Temanggung.
Wabah pes di Malang dan sekitarnya memakan korban tewas 2.015 orang pada tahun 1911. Tjipto yang merupakan dokter Jawa dengan praktek sehari-hari yang menguntungkan akhirnya memutuskan untuk meluncur ke lokasi.
dr Tjipto menjadi orang pertama yang menawarkan tenaganya ke pemerintah Hindia-Belanda di Batavia supaya dikirimkan ke Malang.
“Dr Tjipto datang ketika dokter-dokter Belanda yang ada hanya mementingkan diri sendiri, karena ketakutan mereka akan penyakit ini, mereka tidak dapat diharapkan untuk mengatasi penderitaan rakyat,” tulis Syefri dalam bukunya.
Ketika sebagian dokter Eropa bahkan Jawa takut-takut untuk terjung langsung menangani warga terjangkit wabah pes, dr Tjipto tak ragu-ragu blusukan ke desa-desa yang dikecamuk wabah. Dia bahkan tidak menggunakan APD untuk menangani pasien positif pes alias sampar.
“Berbeda dengan dokter-dokter Belanda atau dokter-dokter Djawa lainnya, di mana mereka menggunakan masker, sarung tangan, dan pakaian pelindung untuk melindungi diri mereka agar tidak tertular penyakit pes, dr Tjipto tidak memakai apa-apa untuk melindungi dirinya,” tulis Syefri.
Ada cerita menarik. Suatu hari, satu rumah di desa kawasan Malang hendak dibakar karena penghuninya tewas kena sampar semua. Memang begitulah prosedurnya kala itu, rumah dibakar supaya wabah tidak menular. Namun Tjipto buru-buru masuk ke rumah yang enggan dimasuki oleh siapapun itu. Dia menemukan ada bayi di dalamnya. Dia gendong bayi itu, dan dia besarkan sampai dewasa. Dia beri nama bayi itu Pesjati.
Tjipto mendapat penghargaan atas jasa-jasana menangani wabah pes. Dia mendapat bintang Orde van Oranje Nassau. Awalnya dia enggan menerima bintang jasa itu karena Tjipto cenderung menentang pemerintah kolonial, namun toh akhirnya Tjitpo menerima juga bintang jasa itu pada Agustus 1912.
Dia sempat memaparkan pengalamannya di sidang ilmiah s’Gravenhage, ada warga terjangkit pes dikucilkan di lingkungannya. Karena kena pes, dia tidak boleh masuk rumah. Akhirnya dia pergi merebahkan dirinya di bawah pohon untuk menunggu ajal.
“Adalah tidak bertanggungjawab untuk membiarkan beribu-ribu orang jatuh menjadi korban pes dengan harapan bahwa wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa. Tidak! Kita tidak boleh lengah!” kata Tjipto, dalam sidang ilmiah itu, dikutip dari buku ‘Dr Cipto Mangunkusumo’ karya Soegeng Resodihardjo, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
Selepas mendapat bintang Orde van Oranje Nassau yang prestisius itu, dr Tjipto rehat sejenak dari dunia kesehatan masyarakat. Dia memutuskan ke Bandung untuk bekerja pada surat kabar De Express, menuangkan pikirannya yang antikolonialisme dalam tulisan-tulisan kritis terhadap pemerintahan. Tjipto kemudian mendapat reputasi sebagai sosok penentang pemerintah.
Tahun 1915, wabah pes melanda Surakarta. Dia meminta pemerintah untuk dikirim ke Surakarta. Namun pemerintah tidak mengabulkan permintaan Tjipto, soalnya Tjipto anti-pemerintahan.
Karena kecewa dengan sikap pemerintah terhadapnya, Tjipto mengembalikan bintang jasa Orde van Oranje Nassau pada 10 Mei 1915. Sebelum mengembalikan bintang jasa itu, dia melancarkan aksi protes dengan mengenakan bintang jasa tersebut di bokongnya. Aksi ini menjadi pembicaraan publik kala itu.
Leave a Comment