Jendral Abdul Haris Nasution lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 3 Desember 1918. Nasution merupakan jendral idealis yang taat beribadah. Ia tak pernah tergiur terjun pada dunia bisnis untuk memperkaya dirinya. Pernah di rumah Pak Nasution ada tangan jahil yang memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nasution pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari – hari, Nasution membuat sumur dibelakang rumah. Sumur tersebut masih ada hingga sekarang.

Tragis memang keadaan Pak Nasution. Ia dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal, ia sendirilah yang menjadi pelopor Orba. Ia sendiri hampir menjadi korban pasukan pemberontak yang di pimpin Kolonel Latif. Ia pula yang memimpin MPRS yang memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai presiden tahun 1967.

Nasution, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, saat melepas tujuh jenderal pada saat peristiwa G30SPKI, dan yang kedua saat kedatangan pengurus pimpinan KNPI di rumahnya mengenai penulisan buku Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan yang ia tulis.

Lalu, apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Nasution merasa bersalah, karena konsepnya yang memberikan peran ganda pada pihak militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran Tentara menyimpang dari konsep dasar yang lebih membela penguasa daripada rakyat.

Nasution memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomer wahid Orba. Akan tetapi, Soeharto memberikan kepada dirinya gelar Jenderal Besar kepada Nasution menjelang akhir hayatnya. Meskipun dibenci oleh pemerintahan Orba, Nasution menyangkal peran Soeharto memimpin pasukan Wehrkreise yang melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.

Jenderal A.H Nasution sebagai Peletak Dasar Perang Gerilya pada Kolonialisme Belanda
Nasution dalam bukunya berjudul Strategy of Guerilla Warfare menjelaskan bagaimana gagasan dan konsep perang gerilya. Buku ini menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi milier dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Ia juga tak mengelak bahwa ialah konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk pada masa reformasi dengan alasan penyimpangan terhadap konsep dasar ABRI.

Pada tahun 1948, Nasution pernah memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Pada September 1965, ia masuk pada daftar nama – nama Jenderal yang dibunuh PKI. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma saat peristiwa G30SPKI yang meletus pada tahun 1965.

Setelah selesai memimpin MPRS pada tahun 1972, Nasution yang pernah duduk sebagai pemimpin TNI selama 13 tahun ini tersisih dari panggung kekuasaannya. Ia kemudian menyibukkan diri menulis memoar. Hingga pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangannya telah beredar. Kelima memoar tersebut merupakan kenangannya Masa Muda, Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orba. Dua yang lain, Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan masih dalam pengerjaan. Ada beberapa buku yang terbit sebelumnya seperti Pokok – Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).

Profil Jenderal Nasution
Nasution berasal dari keluarga yang taat beribadah. Ayahnya merupakan anggota dari pergerakan Sarekat Islam di kampung halamannya di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Ia merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Nasution senang membaca sejarah. Ia melahap buku – buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW hingga perang kemerdekaan Belanda dan Perancis.

Setelah AMS-B (SMA Paspal) pada tahun 1938, Nasution menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Namun, ia kemudian tertarik masuk dalam Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, pada tahun 1942. Sebagai seorang taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kalahnya Belanda yang memalukan dari Jepang bahwa tantara yang tidak mendapat dukungan dari rakyat pasti kalah.

Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948) , saat ia memimpin Divisi Siliwangi, Nasution menarik pelajaran keuda. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasan melakukan perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini kemudian dikembangkan lebih luas ketika ia menjadi Panglima Komando Jawa pada masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949).

Nasution muda, cinta dengan Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Nasution gemar bermain tenis. Pasangan ini mulai berkenalan dan jatuh cinta setelah pertemuan di lapangan tenis (Bandung) sebelum menikah. Pasangan ini dikaruniai dua anak yang salah satunya menjadi korban G30SPKI.

Menjadi pengagum Soekarno semasa muda, Nasution setalah masuk ke jajaran TNI seringkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama tersebut. Nasution menganggap Soekarno terlalu ikut campur dalam hal internal Angkatan Darat yang ia pimpin pada tahun 1952. Soekarno berada dibalik “Peristiwa 17 Oktober” yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Soekarno kemudian memberhentikannya dari KSAD.

Bung Karno akur lagi dengan Nasution, ia lantas mengangkat Nasution kembali pada posisinya, KSAD tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Nasution dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya kembali tidak akur usai pembebasan Irian Barat lantaran Nasution menganggap Bung Karno memberikan angin kepada PKI, musuh dari Angkatan Darat.

Namun, pada situasi tersebut, Nasution tetap berusaha jujur pada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakui sebagai pemimpin besar. Suatu hari pada tahun 1960, Nasution menjawab pertanyaan wartawan Amerika, “Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan”.

Nasution meninggal pada tanggal 6 September 2000. Ia tak mewariskan materi kepada keluarganya melainkan perjuangan dan idealisme. Rumahnya yang beralamat di Jalan Teuku Umar, Jakarta tetap dibiarkan kusam, tak direnovasi.

Biodata Jenderal Abdul Haris Nasution
Nama : Abdul Haris Nasution
Tempat, Tanggal Lahir : Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal : Jakarta, 6 September 2000
Pangkat : Jenderal Bintang Lima
Istri : Ny Johanna Sunarti

Pendidikan

  • HIS, Yogyakarta (1932)
  • HIK, Yogyakarta (1935)
  • AMS Bagian B, Jakarta (1938)
  • Akademi Militer, Bandung (1942)
  • Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
  • Universitas Padjajaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
  • Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
  • Universitas Mindano, Filipina (1971)

 Karir :

  • Guru di Bengkulu (1938) 
  • Guru di Palembang (1939-1940)
  • Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
  • Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
  • Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
  • Wakil Panglima Besar / Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyaarta (1948)
  • Panglima Komando Jawa (1948-1949)
  • KSAD (1949-1952)
  • KSAD (1955-1962)
  • Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
  • Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
  • Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi  (1962-1963)
  • Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)
  • Ketua MPRS (1966-1972)

Bagikan:

Leave a Comment