Dalam perjalanan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda, berbagai perlawanan dilakukan oleh masyarakat. Termasuk, perlawanan para kaum wanita. Salah satunya adalah Cut Nyak Dhien. Ia adalah pahlawan wanita asal Aceh Barat dengan julukan Srikandi Indonesia yang lahir pada 1848.

Melansir artikel bertajuk ‘Penanaman Nilai Kepahlawanan dalam Pendidikan dengan Memanfaatkan Data Sejarah’, Cut Nyak Dhien berjuang mengusir penjajah Belanda di hutan. Ia menikah pada 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, yang merupakan anak dari Imam Lamnga atau Teuku Ujong Arun. Cut turut membantu sang suami dalam perang Aceh di tahun 1873. Sayangnya, Ibrahim tewas terbunuh.

Baca: Martha Christina Tiahahu, Pahlawan Wanita yang Terkubur di Laut Banda

Cut Nyak Dhien kemudian memutuskan untuk menikah lagi pada 1880 dengan Teuku Umar. Kali ini, suaminya tewas dalam pertempuran Meulaboh yang meletus pada Februari 1899. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 1905, Cut ditangkap pemerintah kolonial dan di pedalaman Meulaboh. Ia kemudian dibawa ke Banda Aceh. Ia diasingkan ke Sumedang pada Desember 1905.

Pengasingan Cut yang dilakukan oleh pemerintah Belanda ini terjadi setelah anak buahnya, Pang Lot, memberitahukan lokasi persembunyian Cut di dalam hutan. Bukan tanpa alasan, Pang Lot merasa tidak tega melihat kondisi Cut yang cukup menderita dengan mata rabun.

Ia membiarkan pemerintah Belanda untuk membawa Cut dan mengasingkannya, dengan syarat bahwa pihak kolonial harus merawat dan memperlakukan Cut dengan baik. Sementara itu, tujuan pengasingan ini adalah karena pemerintah Belanda tak ingin semangat perjuangan rakyat Aceh terus dibakar oleh Cut.

Baca: Demang Lehman, Pahlawan Tanpa Kepala Panglima Perang Banjar

Sebelum sampai ke pengasingan, ia beserta pengiringnya menempuh perjalanan laut ke Batavia dan langsung menuju Sumedang. Selama diasingkan, Cut mengajar Al-Quran bagi penduduk setempat. Buku ‘Cut Nyak Din’ yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 1997 menyebut bahwa Cut hidup layak di tempat pengasingan. Segala fasilitas diberikan kepadanya, seperti rumah dan pelayanan ekstra sesuai dengan kedudukannya sebagai bangsawan.

Meskipun kehidupannya terjamin di tanah pengasingan, namun Cut merasa hidup terkekang. Sebab, ia tidak bisa melihat tanah Aceh yang amat dicintainya. Cut akhirnya meninggal pada November 1908, dalam kondisi diasingkan. Jasadnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang Selatan.

Bagikan:

Leave a Comment