Ernest Douwes Dekker merupakan salah satu tokoh pergerakan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Tokoh berdarah Belanda yang juga dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi ini menentang kolonialisme melalui pemikiran dan tulisannya. Ernest Douwes Dekker memiliki nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker.

Dia merupakan seorang Indo-Belanda yang lahir di Pasuruan , 8 Oktober 1879. Dia merupakan putra dari Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Sang ibu, Louisa, berdarah Jerman-Jawa, sedangkan ayahnya orang Eropa murni.

Baca: Nyi Ageng Serang, Satu-satunya Panglima Wanita Sakti Perang Jawa

Dia menempuh pendidikan dasar di Pasuruan, kemudian di salah satu sekolah elite di Batavia bernama Gymnasium Koning Willem III School. Setelah lulus, Douwes Dekker diterima untuk bekerja di kebun kopi di Malang.

Di situlah, ia melihat penindasan rakyat pribumi. Tidak tega melihat penindasan, dia berusaha membela para pribumi. Hal itulah yang membuat dirinya merasakan diskriminasi hingga akhirnya ia dipecat.

Menjadi pengangguran membuat Douwes Dekker memutuskan pindah ke Afrika. Selama di Afrika, ia menyadari mengenai permasalahan rasial yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Karena hal itulah dia memilih untuk membantu rakyat Afrika melawan Inggris.

Kegeramannya kepada pemerintah kolonial ia salurkan pada hobi menulis. Tulisannya yang membuat pihak Belanda geram berjudul “Kebangkrutan Politik Etis di Hindia Belanda”. Tulisan ini terbit Februari 1908. Kemudian, pada Agustus 1908, tulisannya berjudul “Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?” tercetak dalam Nieuwe Arnhemsche Courant.

Selama di Hindia Belanda, Douwes Dekker menjadikan jurnalistik sebagai senjata untuk melawan kolonialisasi. Semakin hari, kata-kata yang ditulisnya semakin tajam dan berani. Douwes Dekker, yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, secara terang-terangan mengkritik dan menentang Belanda serta membuat tulisan yang pro terhadap kaum pribumi.

Pada tahun 1912, Ernest Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan partai politik pertama yang diberi nama Indische Partij. Ketiga tokoh ini pun disebut sebagai Tiga Serangkai.

Dikutip dari direktoratk2krs.kemsos.go.id, Indiesche Partij mempropangandakan cita-cita kemerdekaan sehingga memiliki banyak anggota sampai sekitar 7.500 orang dari 30 cabang. Indische Partij kemudian dibubarkan Belanda pada Maret 1913.

Baca: Hukuman Mati Raden Trunojoyo Akibat Memberontak Mataram

Douwes Dekker dibuang ke Belanda karena menentang perayaan 100 tahun Belanda merdeka dari Prancis di Hindia Belanda. Di Belanda, Douwes Dekker belajar ilmu ekonomi sambil bergabung dengan Indiesche Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Kemudian ia mendirikan National Indische Partij pada 1919.

Douwes Dekker juga membangun School Vereeniging Het Ksatrian Instituut atau yang disingkat Ksatrian Institut. Sayangnya, dia harus terkena larangan mengajar karena menulis sebuah materi sejarah antikolonialisme. Tidak cukup sampai di situ, ia kemudian ditangkap dan diasingkan ke Suriname oleh pemerintah Belanda pada 1941 karena tuduhan kaki tangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker pulang ke Indonesia dan kembali mengabdikan diri untuk Tanah Air. Dalam Kabinet Syahrir III, ia diangkat menjadi Menteri Negara dan juga sebagai penasihat delegasi RI dalam perundingan-perundingan dengan Belanda

Namun, lagi-lagi ia kembali ditangkap Belanda karena Agresi Militer II. Setelah bebas, Ernest Douwes Dekker menetap di Bandung hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 28 Agustus 1950 dan dimakamkan di TMPN Cikutra Bandung.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya, Ernest Douwes Dekker ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1961, berdasarkan SK Nomor 590 Tahun 1961, tertanggal 9 November 1961.

Bagikan:

Leave a Comment