Hari kelahiran aktivis Soe Hok Gie jatuh pada 17 Desember. Ada beberapa fakta tentang pria yang meninggal di Gunung Semeru, Jawa Timur, pada 16 Desember 1969 ini.

Gie merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Satu hal yang tidak bisa dilupakan dirinya yakni menentang kediktatoran berturut-dari Presiden Soekarno dan Soeharto.

Berikut fakta tentang Soe Hok Gie

Kisah Asmara

Dalam banyak aspek kehidupannya, Gie memang bisa sangat percaya diri dan dewasa, tapi beda halnya ketika bicara soal asmara.

John Maxwell dalam penelitiannya untuk disertasi doctoral di Australian National University juga pernah secara khusus menyoroti hubungan Soe Hok Gie dengan teman wanitanya.

“Kondisi emosi Soe Hok Gie dinodai oleh ambiguitas dan kebingungan selama berbulan-bulan ini ketika ia berjuang mengatasi perasaannya terhadap ketiga gadis yang telah menjadi bagian penting dari kehidupannya,” ujar Maxwell seperti dikutip Rudy Badil.

Baca: Foto Ikonik Che Guevara Pertama Kali Dipotret

“Di usianya yang ke 26 ia hanya bisa merasa iri kepada teman-temannya yang sudah menikah atau sudah mempunyai kekasih,” kutip Rudy.

Tepat sehari menjelang usianya ke 27 tahun,Gie menitipkan sejumlah batu dan daun cemara ke teman-teman wanitanya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Yayuk Surtiati termasuk salah satu yang sering curhat pada Hok-Gie tentang pacarnya. Padahal Soe Hok Gie tak punya pacar. Kala itu, pria yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan ‘China kecil’ itu mengaku dirinya sebagai pria berhati batu.

Karena curhat justru pada Gie yang tak punya pacar, seorang temannya malah menyeletuk. “Tanya masalah cinta kok ke Gie. Itu sih sama saja dengan bertanya ke dengkul,” kisah Yayuk.

Baca: Ketika dr Tjipto Tangani Wabah Tanpa APD dan Pasang Bintang Jasa di Pantat

Kritis

Soe Hok Gie mengkritik ketidakinginan untuk masuk ke sistem politik. Karena menurut Gie, politik adalah kotor seperti lumpur.

Politisi PDIP dan mantan aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko menyebut, sikap Gie yang memilih di luar sistem saat Orde Baru adalah wajar. Ia menilai Gie kecewa ketika sistem yang diperjuangkan dan diharapkan lebih demokratis malah berubah menjadi pemerintahan otoriter.

Hal ini tidak disangka olehnya ketika masih masa transisi perpindahan kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto.

Tidak Pelit Berbagi Ilmu

Gie biasanya dicari karena pandai dan tidak pelit membagi ilmu. Bagi temannya ia bagaikan ensiklopedi berjalan, tempat bertanya banyak hal mulai dari mata kuliah, sejarah, sastra, hingga persoalan cinta.

Salah seorang wanita yang dekat dengan Gie, Yayuk Surtiati memberikan kesaksian dalam buku Luki Sutrisno Bekti bertajuk ‘Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya’. Bagi Yayuk, Gie adalah sosok senior yang bersedia menjadi mentor dan juga mengajarkan banyak hal.

Baca: Ramalan Jayabaya yang Tidak Meleset

Penulis Produktif

Soe Hok Gie juga dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa. Sudah ada sekitar 35 karya artikelnya selama tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Buku Harian

Pernyataan Gie serupa dengan komentar Friedrich Nietzsche, kepada seorang filsuf Yunani. Buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Gie dalam tesis universitasnya juga diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah.

Buku harian Gie ini menjadi inspirasi untuk film 2005, berjudul Gie, yang disutradarai oleh Riri Riza dan dibintangi Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie. Gie juga merupakan subjek dari sebuah buku 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul ‘Soe Hok Gie: Diary of a Young Indonesian Intellectual’. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan berjudul ‘Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani’.

Bagikan:

Leave a Comment