Nama Sunan Kuning sangat akrab di telinga masyarakat Jawa Tengah (Jateng) khususnya Semarang. Jika menyebut nama ini, maka langsung terngiang dengan keberadaan kompleks lokalisasi yang berada di Semarang barat itu.

Ya, Sunan Kuning merupakan lokasi komplek lokalisasi terbesar di Kota Semarang, meski kini sudah ditutup. Namun dibalik itu semua, tahukah bahwa Sunan Kuning ini sebenarnya sosok penting di Kota Semarang. Bahkan Sunan Kuning disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam di Semarang.

Dalam buku berjudul “9 Oktober 1740; Drama Sejarah, dalam Catatan Seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe”, Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama Raden Mas Garendi. Ada juga yang menyebut Sri Susuhunan Amangkurat V.

Baca: Kekejaman Sultan Amangkurat I Berujung Hancurnya Kerajaan Mataram

Dia adalah penguasa terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh Pakubuwana II atas bantuan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).

Saat peristiwa “Geger Pacinan”, Amangkurat V memimpin persekutuan Tionghoa – Jawa melawan VOC. Di sinilah nama Sunan Kuning muncul. Nama ini sebenarnya meruju pada kata “cun ling” atau bangsawan tertinggi. Namun karena lidah orang Tionghoa susah mengejanya, maka menjadi Soen An Ing.

Sunan Kuning bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.

Para pemberontak Tionghoa – Jawa kemudian menobatkan Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun, sumber lain menyebut 12 tahun.
Dia pun dianggap sebagai “Rajanya orang Jawa dan Tionghoa”. Sunan Kuning kemudian dijadikan sebagai simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikhianati Pakubuwana II yang bersekutu dengan VOC.

Baca: Skandal Seks dan Percintaan Warnai 32 Tahun Amangkurat I Memerintah Mataram

Kisah sukses Sunan Kuning bertempur melawan tentara VOC berawal ketika balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742, setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, bertindak sebagai komandan tentara pendudukan.

Merasa terdesak, Pakubuwana II kemudian melarikan diri dari Kartasura dan dievakuasi Kapten Van Hohendorf (VOC) ke arah timur Kartasura menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo atau penanda waktu yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jagad” artinya raja yang telah kehilangan keratonnya.

Sunan Kuning bertahta di Kasunanan Kartasura terhitung sejak 1 Juli 1742. Dia kemudian mengangkat komandan perlawanan seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo atau Pangeran Prangwedana sebagai panglima perang.

Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. Sebanyak 1.200 prajurit gabungan Tionghoa-Jawa dipimpin Raden Mas Said atau Mangkunegara I dan Singseh atau Tan Sin Ko menuju Welahan, Jepara.

Baca: Menghianati Mataram, Tumenggung Endranata Dimutilasi Sultan Agung Menjadi 3 Bagian

Di Welahan, mereka bertempur melawan pasukan VOC dipimpin Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan Tionghoa-Jawa ini. Setelahnya, berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara, dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.

Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru, Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Sunan Kuning pun terpaksa meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa.

Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Jawa. Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743, saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan.

Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang (pengawal Sunan Kuning), Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Sri Lanka.

Baca: Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Dan Penakluk Hati Hamengku Buwono II

Sumber riwayat Semarang menyebutkan, makam atau petilasan Sunan Kuning berada di bagian barat Kota Semarang, di atas bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran.

Nama lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam banyak kalangan yang mengira sebutan sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.

Bagikan:

Leave a Comment