Pada tahun 1953, di suatu hari, Soekarno masuk kamar untuk menemui Fatmawati yang tengah berbaring di samping Guruh, putra bungsu mereka yang baru berusia dua hari.

Pada pertemuan itu, Soekarno meminta izin kepada Fatmawati untuk menikahi Hartini. Hal itu lantas membuat Fatmawati marah lantaran ia tak mau dimadu.

Tidak lama, Fatmawati pun meninggalkan Istana Negara dan memilih untuk menetap di sebuah rumah di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Terlepas dari sikap Soekarno yang menduakan cintanya, Fatmawati kemudian berkata, “Terlepas dari perasaanku, satu hal patut dipuji: Bung Karno tidak hipokrit,” ujarnya, dilansir dari buku berjudul “Soekarno Fatmwati, Buah Kisah Cinta Klasik” karya Adhe Riyanto.

Pertemuan Soekarno dengan Hartini pertama kali di Salatiga, Jawa Tengah. Waktu itu Hartini tengah menjadi anggota panitia peyambutan Soekarno.

Ketika mereka bersalaman, Soekarno banyak bertanya kepada Hartini, mulai dari rumahnya di mana, anaknya berapa dan suaminya siapa.

Setelahnya, Soekarno mengirim surat untuk Hartini. Lewat surat itulah mereka saling mencintai.

Hartini bersedia menjadi istri Soekarno setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya. “Kata orang tua saya, dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden,” tuturnya menirukan nasihat orang tuanya.

Namun, sebelum dinikahi, Hartini mengajukan syarat agar Fatmawati tidak diceraikan dan tetap menjadi Ibu Negara. “Saya tidak mau Ibu Fatmawati diceraikan, karena kami sama-sama wanita,” ujarnya.

Selama berumah tangga dengan Soekarno, Hartini mengakui bahwa suaminya selalu bersikap penuh perhatian, telaten, dan tak pilih kasih. “Bapak telaten dan penuh perhatian pada semua istrinya. Kita ndak dibeda-bedakan,” kata Hartini.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment