“Gerwani lonte, hancurkan Gerwani dan gantung Aidit” yel-yel tersebut yang didengar Sumini, 74, korban G30S PKI yang saat itu sedang menempuh pendidikan tinggi di Institute Pertanian Gerakan Tani (IPGT) Bogor.

Saat itu sekelompok aksi sedang mengepung kampus Sumini. Sekelompok aksi tersebut tak hanya merusak kampus, namun juga menjarah buku, mesin ketik dan kasur milik mahasiswa.

“Mereka itu bukan massa aksi demo namun rampok,” jelasnya.

Saat itu, kondisi di kampusnya begitu buruk. Bahkan hampir semua mahasiswa panik. Hal itu membuat rektor IPGT Bogor terpaksa memulangkan mahasiswa ke rumah masing-masing karena kondisi yang semakin buruk.

“Nanti kalau sudah kembali normal, kalian boleh kembali lagi ke sini,” ucap Sumini menirukan pesan rektor.

Ketika perjalanan pulang, di sepanjang jalan menuju ke Kabupaten Pati ia melihat banyak penjarahan, bahkan beberapa rumah juga dibakar. Selain itu, juga banyak orang yang diseret-seret dan disiksa.

“Saat perjalanan pulang saya melihat keadaan sudah parah. Saya melihat beberapa orang diseret-seret dan dibunuh,” ujarnya.

Namun, betapa terkejutnya, ketika ia sampai di kampung halaman. Ternyata puluhan kelompok massa sudah mengepung rumah Sumini. Beberapa massa menuduh Sumini yang mencungkil mata para jendral di lubang buaya.

“Sampai akhirnya, saya diamankan oleh ayahnya. Saya diberi uang Rp5 ribu untuk kabur dari rumah,” ingatnya.

“Saat itu saya tak punya tujuan, saya tidur di tempat seadanya. Pindah-pindah,” ujarnya.

Di tengah perjalanan, Sumini bertemu dengan temannya hingga akhirnya ia dititipkan di rumah orang Juana. Di tempat tersebut untuk sementara waktu ia tinggal.

Beberapa hari kemudian, datang seorang pria bernama Suroji yang menginginkan agar Sumini bersedia dimadu. Saat itu, Suroji sudah mempunyai empat istri.

“Namun saat itu saya tidak mau. Saya menolaknya karena masih trauma,” imbuhnya.

Hingga akhirnya, datang suatu malam yang mencekam. Pada hari yang sama Sumini dikepung oleh sekelompok massa yang memukulinya hingga pingsan.

“Seingat saya massa tersebut ada pemuda Ansor, Pemuda Pancasila, Pemuda Marhaenisme dan kelompok-kelompok yang lain,” ucapnya.

Ketika ia sadar, Sumini sudah pindah di tempat Polres Pati. Saat ia bangun, seluruh badan Sumini sudah banyak yang lebam. Bahkan, saat itu ia juga ditelanjangi.

“Saat di Polres Pati saya sudah ganti baju, saya ditelanjangi,” ungkapnya.

Saat di Polres Pati ia disiksa. Kakinya dijepit kursi, pipinya dibakar dengan batang rokok. Bahkan ia juga sempat disetrum. Hal itu membuat Sumini pingsan berkali-kali.

“Saat itu, jawab ya dipukul tidak jawab ya juga dipukul. Siksaan itu berlanjut hingga enam bulan,” keluhnya.

Hingga akhirnya, ia dipindah ke di Penjara Bulu Kota Semarang. Sumini mendekam di Penjara Bulu selama enam tahun. Di penjara tersebut, Sumini bisa sedikit lega lantaran sudah tak nada penyiksaan dari aparat.

“Meski kapasitas ruangan penjara tidak layak. Saya bersyukur sudah tidak ada penyiksaan,”ingatnya.

Setelah enam tahun, tepatnya pada tahun 1972 Sumini bisa menghirup udara bebas. Setelah bebas, ia kembali ke kampung halamannya.

Setelah tiba di kampung halaman, ternyata tak semua warga di kampung tersebut menerima Sumini. Beberapa orang masih memandang Sumini dengan sebelah mata. Hal itu, membuatnya sulit mencari pekerjaan.

Bahkan, salah satu anaknya gagal mendapatkan beasiswa pendidikan karena surat-suratnya dihalangi oleh aparat di desanya. Padahal, saat itu, anak Sumini mendapatkan beasiswa pendidikan ke Jepang.

“Saya tidak tau kenapa saya diperlakukan seperti itu,” keluhannya.

Sampai saat ini, Sumini belum mendapatkan keadilannya. Bertahun-tahun ia dipenjara tanpa proses pengadilan. Bahkan, anak-anaknya juga menjadi korban.

Untuk itu, ia menagih Jokowi untuk membuktikan janjinya untuk menghapuskan stigma negatif korban G30S PKI. Menurutnya, negara tak perlu memberi kompensasi dan minta maaf.

“Saya hanya ingin, saya sebagai warga negara dipulihkan kembali,” ucapnya.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment