Saat itu pemerintah Malaysia memiliki gagasan untuk pembentukan sebuah negara Federasi Malaysia yang di dalamnya terdapat Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, dan juga Sabah. Rencana tersebut juga didukung oleh Inggris agar mereka dapat mempertahankan pangkalan militernya di Singapura serta mengamankan modal di wilayah Kalimantan Utara. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia tersebut membuat Presiden Soekarno murka dan menyatakan bahwa Indonesia menentang keras rencana tersebut karena menurutnya hal tersebut merupakan proyek neokolonialisme Inggris yang akan mengancam kemedekaan Indonesia. Melalui pidatonya di Jakarta pada tahun 1964, yang kemudian dikenal sebagai Dwikora (Dwi Komando Rakyat) Presiden Soekarno menyatakan bahwa:
- Memperkuat ketahanan revolusi Indonesia.
- Membantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunai, untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Istilah ‘Ganyang Malaysia’ yang dikenal hingga sekarang pun ada karena saat itu Presiden Soekarno menghimbau masyarakat dan khususnya para sukarelawan yang akan dikirimkan ke perbatasan Kalimantan Utara. Tidak ada pernyataan perang resmi yang dilakukan oleh Presiden Soekarno seperti saat operasi militer Dwikora untuk merebut wilayah Malaysia. Presiden Soekarno memerintahkan ABBRI untuk tidak mengirimkan pasukan secara terbuka, melainkan mengirim sukerelawan-sukerelawan untuk membantu para Tentara Nasional Kalimantan Utara dalam perang melawan pemerintah Malaysia.
Para sukerelawan yang membantu TNKU itu sebenarnya adalah para tentara elit dari ABBRI, seperti misalnya dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) milik angkatan darat dan juga Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari angkatan udara. Mereka pun bertempur tidak dengan menggunakan seragam ABBRI melainkan menggunakan seragam TNKU serta menggunakan identitas palsu untuk menghapus jejak keterlibatan pemerintah pusat dalam perang melawan Malaysia di daerah perbatasan tersebut.
Dengan bantuan elit ABRI, TKNU membuat kewalahan pemerintah Malaysia sehingga akhirnya mereka meminta bantuan kepada Inggris. Inggris meresponnya dengan mengirimkan pasukan elit SAS (Special Air Service) yang memang terkenal sebagai salah satu yang terbaik di jajaran pasukan elit dunia. Dengan bantuan pasukan SAS, tentara Malaysia atau yang dikenal sebagai pasukan Gurkha pun dapat memukul mundur pasukan gerilya Indonesia beberapa kali.
Demikian pula pasukan gerilya Indonesia juga sering memukul mundur pasukan gabungan tersebut. Tidak ada data resmi yang mencatatat pertempuran disana karena tidak adanya media yang meliput. Hingga pada akhirnya kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, melakukan gencatan karena merasa apabila konflik ini diteruskan maka akan merugikan kedua belah pihak. Ditambah lagi saat itu pecah gerakan 30 September di Jakarta yang membuat kepemimpinan militer Indonesia saat itu goyah. Hingga akhirnya pada tanggal 11 Agustus 1966, dibuatlah perjanjian yang ditanda tangani kedua belah pihak untuk memulihkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia, yang dikenal sebagai Jakarta Accord. Indonesia diwakili Menteri Luar Negeri Adam Malik, sementara Malaysia diwakili oleh Perdana Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak. Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, konflik Indonesia dan Malaysia berakhir.
Leave a Comment