Sejarah Pertempuran Surabaya, perlu dibahas terutama terkait penyebab dan latar belakang peristiwa yang memulainya. Jika dilihat dari segi kronologi peristiwa, pertempuran di Surabaya merupakan sebuah perlawanan massa kepada Sekutu.
Saat itu tepat pada tanggal 10 Nopember 1945, Surabaya sedang berada dalam kecamuk revolusi. Hampir di setiap sudut Surabaya terdapat jasad yang terdampar, darah yang tergenang, dan asap yang mengepul.
Berawal dari invasi tentara Sekutu yang bergabung dalam AFNEI (Allier Forces for Netherlands East Indische) memiliki misi pengamanan (polisionel) di Indonesia.
Para pejuang di Surabaya mulai curiga bahwa Belanda ikut campur dengan mereka. Setelah dilihat lebih dalam ternyata benar, AFNEI sedang memboncengi Belanda yang terhimpun dalam NICA (Netherland Indies Civil Administrartions).
Sejarah Pertempuran Surabaya
Sebetulnya, jika dilihat lebih jauh, pertempuran Surabaya disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya dendam pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945.
Menurut K’tut Tantri dalam “Revolt in Paradisce” (1965: 163), menyebut Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia jauh sebelum Sekutu datang.
Politik Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia sebenarnya dipandang dari segi kepentingannya Jepang yang berkeinginan bangsa Indonesia bertekuk lutut di depan Kaisar Jepang.
Hal itu dibantah oleh Sukarno-Hatta yang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Mereka berdua tak ingin menerima kemerdekaan atas nama pemerintah asing.
Baca: Misteri Tewasnya Jenderal Mallaby hingga Picu Perang 10 November Surabaya
Latar Belakang Pertempuran Surabaya
Sejarah Pertempuran Surabaya dilatarbelakangi oleh peristiwa pembebasan tawanan perang Belanda oleh Jepang yang saat itu dilepaskan di tengah dendamnya masa Surabaya.
Terlebih dendam ini memuncak ketika terdapat selebaran kertas yang berserakan di setiap jalan bertuliskan, supaya bangsa Indonesia bersiap-siap menerima kedatangan bangsa Sekutu dalam waktu dekat.
Ibarat mendapat angin segar, para interniran yang sudah dibebaskan dari kamp tahanan Jepang di Surabaya ini semakin berani dengan keadaan. Mereka mengibarkan kembali bendera Belanda. Hal ini tentu saja menimbulkan amarah masa di Surabaya yang terlampau emosi.
Pada tanggal 19 September 1945 terjadilah peristiwa yang disebut dengan “insiden perobekan bendera Belanda” di Hotel Oranye Surabaya.
Dalam sejarah pertempuran Surabaya tercatat, pada hari itu para pejuang merobek setengah warna biru bendera Belanda hingga hanya tersisa merah dan putih. Peristiwa ini kemudian menimbulkan bentrok antara para pemuda Surabaya dan tentara Sekutu.
Dari aksinya di Hotel Oranye, para pemuda di Surabaya semakin berani. Menurut G. Moedjanto dalam “Indonesia Abad ke 20, Jilid I” (1989: 9), telah terjadi peristiwa aksi perampasan senjata api milik Jepang oleh para pemuda di Surabaya.
Hal ini dilakukan untuk membela dan mempertahankan Kemerdekaan dari rongrongan Belanda. Saat itu Belanda ingin menduduki kembali Indonesia pada tanggal 25 Oktober 1945, terutama wilayah Surabaya.
Soejitno, Hardjoesoediro dalam “Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan” (1987:66), menyebut pada tanggal 27 Oktober 1945 Jenderal Hawthorn (panglima Sekutu) untuk Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, telah menyebarkan pamflet ultimatum yang berisi perintah supaya rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu.
Peristiwa ini dianggap sebuah penghinaan terhadap bangsa Indonesia yang baru merdeka. Dari sanalah awal sejarah pertempuran Surabaya.
Penghinaan tersebut ditanggapi pula oleh Komando Divisi TKR di Surabaya yang mengeluarkan perintah serbuan umum kepada Sekutu petang itu, sehingga terjadilah pertempuran hebat.
Dampak Pertempuran Surabaya
Dari rencana penyerbuan yang dikomandoi Divisi TKR di Surabaya yang tak disebutkan namanya itu, terjadilah pertempuran hebat yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby.
Pertempuran ini dimulai pada tanggal 27 malam sampai dengan 30 Oktober 1945. Pertempuran itu dikenal dengan pertempuran tiga hari di Surabaya.
Pertempuran Surabaya diketahui puncaknya terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945. Pada tanggal yang sama hingga saat ini selau dirayakan dengan hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Akhir Pertempuran Surabaya
Setelah terbunuhnya Jenderal Mallaby, sejarah pertempuran Surabaya mencatat hal itu menjadi pemicu beberapa kekacauan di Surabaya.
Roeslan Abdul Gani dalam “100 Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesi” (1974: 62), menyebut kematian Brigadir Jenderal Mallaby telah mendatangkan berbagai reaksi. Termasuk juga komentar dari berbagai surat kabar, antara lain di London, New York, Washington, Australia, dan India.
Sementara pada tanggal 31 Oktober 1945 Letnan Jenderal Sir Philip Christison panglima AFNEI memberi reaksi yang keras terhadap peristiwa tersebut.
Ia melukiskan peristiwa tersebut sebagai pembunuhan keji atau Foul Murder. Dia pun mengubah kebijakannya menjadi perubahan sikap terhadap kebijaksanaan Inggris di Jawa atau A new Turn to the Situation in Java.
Leave a Comment