Pada masa Demkrasi Liberal, pemerintahan Indonesia kerap silih berganti kabinet. Program – program tidak terlaksana dengan baik, terjadi kekacauan, gerakan separatis, meningkatnya inflasi dan membuat Indonesia dalam keadaan darurat. Hal ini ditambah konstituante sebagai badan yang ditunjuk untuk membuat undang – undang baru menggantikan UUDS 1950, gagal dalam upaya pembentukan konstitusi baru sehingga Indonesia tidak memiliki pijakan yang mantap dalam bernegara.

Indonesia pada tahun 1959 – 1966 masuk pada masa Demokrasi Terpimpin yang merupakan sebuah sistem  demokrasi  dimana semua keputusan berada pada pimpinan negara yaitu Soekarno. Konsep Demokrasi Terpimpin pertama kali dicetuskan oleh Soekarno ketika sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

A. Konstituante Gagal dalam Menyusun Undang – Undang Baru
Pada Pemilu 1955 didapatkan hasil empat partai terbesar yang memenangkan pemilihan konstituante dan DPR yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Setelah Pemilu 1955, kabinet Burhanudin Harahap selaku pemimpin kabinet yang melaksanakan program kerjanya, menyerahkan kedaulatannya kepada Soekarno untuk membuat kabinet baru. Kemudian pada tanggal 24 Maret 1966, ditunjuklah Ali Sastroamidjojo  untuk membentuk kabinet pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai – partai di parlemen. Kabinet ini tidak bertahan lama karena adanya oposisi dari daerah luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah di luar Jawa.

Pada bulan Februari 1957, Soekarno memanggil pejabat sipil, militer dan pejabat partai ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi :

  • Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas wakil – wakil dari semua partai ditambah dengan golongan fungsional
  • Pembentukan Dewan Nasional (pada perkembangannya berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung) yang beranggotakan wakil – wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini yaitu memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.

 Konsep ini kemudian ditolak oleh beberapa partai diantaranya Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik dan PRI. Mereka berpendapat bahwa perubahan susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Suhu politik kemudian memanas antara yang pro dan kontra atas usulan Soekarno tersebut. Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Soekarno menyatakan kesulitan negara dikarenakan banyaknya partai yang berdiri yang menyebabkan rusaknya persatuan dan kesatuan negara. Sehingga sebaiknya partai – partai politik dibubarkan.

Selanjutnya, dengan alasan menyelamatkan negara, Soekarno mengajukan konsepsi Demokrasi Terpimpin. Untuk sementara usulan ini terabaikan karena adanya hal yang lebih penting yaitu pemberontakan PRRI-Permesta. Setelah pemberontakan dapat diredam, masalah politik muncul kembali. Masalah semakin serius ketika konstituante gagal membuat dan menetapkan konstitusi baru. Kegagalan tersebut dikarenakan partai – partai yang menjadi wakil dalam lembaga konstituante lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri – sendiri dalam penyusunan aturan yang diajukan.

Permasalahan utama konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Sebagian kelompok menghendaki Pancasila sebagai dasar negara sedangkan kelompok lain menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam mengatasi kemacetan ini, kemudian muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan dikembalikannya ke UUD 1945, maka kekacauan atas pijakan negara dapat terselesaikan. Berbagai partai politik setuju dengan hal ini. Kemudian pada 19 Februari 1959, Kabinet menerima gagasan kembali ke UUD 1945.

Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi Republik Indonesia. Atas hal tersebut, konstituante kemudian membuat sebuah pemungutan suara yang dilakukan selama tiga kali dengan hasil suara yang setuju lebih banyak daripada yang menolak kembali ke UUD 1945, namun yang hadir kurang dari dua pertiga yang berarti tidak mencapai quorum (batas minimal pemungutan suara).

Dengan kegagalan pembuatan konstitusi baru oleh konstituante, maka sebagian anggota memutuskan tidak menghadiri sidang konstituante lagi. Disisi lain sejak tanggal 3 Juni 1959, Demokrasi Terpimpin diawali dengan dicetuskannya anjuran dari Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS yang dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Namun usulan tersebut banyak menuai pro dan kontra dikalangan konstituante selaku lembaga yang membuat undang – undang.

 Sebagai reaksi dari usulan Soekarno, maka konstituante membentuk suatu pemungutan suara dadakan yang diikuti seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara terebut dilakukan untuk meredam konflik antara pro dan kontra atas usulan Soekarno. Kegagalan konstituante dalam menentukan sikap menunjukkan bahwa partai yang ikut dalam konstituante masih mengabdi pada partainya bukan pada negara. Hal tersebutlah yang membuktikan ketidakmampuan konstituante dalam membuat konstitusi baru menggantikan UUDS 1950.

Sementara itu sejak 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata termasuk dalam masa reses terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat mengeluarkan peraturan Nomor : PRT/PERPU/040/1959 yang melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul untuk kembali ke UUD 1945.

B. Diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Hingga tahun 1959, konstituante tidak pernah menghasilkan undang – undang baru sebagai ganti dari UUDS 1950. Bahkan partai – partai yang menjadi bagian dari konstituante selalu menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai melalui kebijakan pembuatan undang – undang. Oleh sebab itulah kondisi politik sejak 1956 semakin kacau dan memburuk.

Keadaan ini semakin bertambah kacau dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Rakyat bereaksi dari kondisi ini dengan memaksa pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante yang tidak bisa diharapkan lagi. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu, pada bulan Februari 1957, Soekarno mengajukan gagasan “Konsepsi Presiden”. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan kepada Soekarno untuk mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 yang merupakan langkah mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi :

  • Pembubaran konstituante
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUDS 1950
  • Pembentukan MPRS dan DPAS

Dekrit ini mendapat dukungan dari masyarakat dan KSAD. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit ini. DPR hasil pemilu 1955 juga menyatakan kesediannya untuk terus bekerja sesuai UUD 1945.

C. Pengaruh Dekrit Presiden
Setelah berlakunya UUD 1945 sebagai dasar dari Demokrasi terpimpin. Ternyata harapan ini akhirnya hilang karena UUD 1945 tidak dilaksanakan secara konsekuen. UUD 1945 yang dianggap sebagai dasar dari hukum konstitusional hanyalah slogan – slogan kosong belaka. Hal ini terlihat jelas dari penyelewengan – penyelewengan yang dilakukan presiden. Diantaranya :

  • Prosedur pembentukan DPRGR dan MPRS
  • Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden
  • Membubarkan DPR hasil Pemilu 1955
  • Menjadikan kedudukan pemimpin lembaga tertinggi dan lembaga Negara sebagai menteri yang berarti sebagai pembantu Presiden GBHN yang bersumber dari pidato tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan GBHN ditetapkan oleh DPA bukan MPRS
  • Pengangkatan Presiden seumur hidup
  • Pemberlakuan NASAKOM

Ciri Demokrasi Terpimpin

  • Kebebasan partai dibatasi
  • Presiden bertugas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
  • Kembali kepada UUD 1945 dan menonaktifkan UUDS 1950
  • Pembentukan MPRS, DPAS, DPRGR dan Front Nasional

D. Keadaan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin
Selain dibentuk Kabinet Kerja, pada demokrasi terpimpin dibentuk juga lembaga negara seperti DPRGR, MPRS, DPAS dan Front Gotong Royong sebagai perwujudan dari Demokrasi Terpimpin. TNI dan ABRI disatukan dalam bentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Masing – masing dipimpin angkatan yang dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya dibawah Presiden atau Panglima Tertinggi ABRI. Golongan ABRI dianggap sebagai golongan fungsional dan memiliki kekuatan politik. Dengan demikian, ABRI memainkan kekuatannya dalam dunia perpolitikan.

Berdasarkan Perpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 yang menetapkan syarat yang dipenuhi sebuah partai. Partai politik diharuskan memenuhi syarat seperti jumlah anggota. Hasilnya, hanya beberapa partai yang masih dapat bertahan diantaranya PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katholik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan ini lebih dikenal dengan nama penyederhanaan partai. Disisi lain, partai Masyumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI-Permesta sehingga kedua partai tersebut dibubarkan oleh pemerintah.

Pada saat itu, kekuatan terpusat pada Soekarno, ABRI dan partai – partai terutama PKI. Soekarno berusaha menciptakan keseimbangan (balance of power) antara ABRI sebagai lembaga keamanan dan ABRI dengan partai politik. Untuk menciptakan keseimbangan tersebut, Soekarno memerlukan dukungan yaitu dari PKI. Keadaan ini sangat menguntungkan PKI yang memiliki kepentingan. PKI memainkan peranannya sebagai pendukung Soekarno dalam bidang politik hingga dikeluarkannya konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM) oleh Soekarno.

Disisi lain, PKI yang memiliki cap bersifat internasional (kurang nasional) dan anti agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang didalamnya mencakup Pancasila. Ajakan Soekarno supaya jangan komunistophobia (rasa takut terhadap komunis) sangat menguntungkan PKI dan menjadikan PKI aman. Saat itu keduanya saling melengkapi antara Soekarno dan PKI.

Dalam rangka mewujudkan sosialisme (yang kelak menjadi komunisme) di Indonesia, PKI menempuh beberapa tindakan diantaranya :

  1. Dalam Negeri; menyusup ke berbagai partai politik atau organisasi massa yang melawannya kemudian memecah belah. Pada bidang pendidikan mengusahakan Marxisme-Leninisme sebagai mata pelajaran wajib. Pada bidang militer yaitu mendoktrinasi ajaran komunis kepada para perwira dan membangun sel – sel komunis diantara ABRI.
  2. Luar Negeri; berusaha mengarahkan Indonesia dari politik bebas aktif yang mendekati negara – negara komunis terutama Uni Soviet dan Cina.

PKI dicurigai ingin merebut kekuasaan Indonesia atas dasar pengalaman pemberontakan PKI Madiun 1948. Pada tahun 1964, ditemukan dokumen yang memuat rencana perebutan kekuasaan oleh PKI. PKI menyatakan dokumen itu palsu. Berkat perlindungan presiden, tuduhan itu tidak berlaku. Aidit selaku ketua PKI dihadapan peserta kursus Kader Revolusi secara terang – terangan menyatakan bahwa “Pancasila hanya merupakan alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi“. Pernyataan ini tidak mendapat tindakan dari presiden hingga PKI melakukan intimidasi di segala bidang pada ranah politik.

Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI mempengaruhi Soekarno untuk melarang Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya adalah keduanya didukung oleh intelijen Amerika Serikat, CIA. Sebenarnya, yang ditentang PKI bukan Manikebu, melainkan terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Selain itu PKI juga berhasil mempengaruhi Antara (Kantor berita) dan RRI.

Pada bidang kepartaian, PKI melakukan fitnah kepada partai Murba sehingga partai Murba dibubarkan oleh Soekarno. PKI juga menyusup ke partai lain seperti partai PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jendera Surachman sebagai sekertaris yang jenderalnya disusupi PKI. Besarnya kekuatan PKI di tubuh PNI (Ali – Surachman) menyebabkan marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di Indonesia. Tokoh – tokoh marhaenisme PNI seperti Osa Maliki dipecat dari kepengurusan yang kemudian membuat partai tandingan yaitu PNI Osa Usep (Ketuanya Osa Maliki dan sekertaris Usep Ranuwijaya). Dengan demikian PNI pecah menjadi dua.

Pada bidang agraria, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI) berhasil melakukan landreform di beberapa wilayah dan melakukan aksi penyerobotan tanah sepihak seperti di Boyolali, Kediri, Klaten dan Sumatera Utara. Aksi sepihak ini bertujuan mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dari ABRI.

Dalam usaha mempengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur resmi. Jalur resmi adalah Komisari Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai Kamaruzaman (Syam). Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri dari PNI dan NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu menanggulangi pengaruh komunis bahkan menjadi penghalang bagi PKI untuk mendirikan negara komunis. Oleh sebab itu, peristiwa G30SPKI dijadikan sarana bagi ABRI terutama TNI AD untuk memberantas komunis.

E. Berakhirnya Demokrasi Terpimpin
 Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kudeta para gologan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Tindakan yang diambil Soekarno pada tanggal 30 September 1965 hingga 1967 dianggap sebagai kudeta merangkak (creeping coup). Proses kudeta tidak berlangsung menghantam, melainkan secara perlahan. Bahkan selama kekuasaannya beralih, Soekarno masih berstatus sebagai presiden. Terjadilah dualisme kepemimpinan dalam waktu peralian presiden Soekarno ke Soeharto.

Peristiwa G30SPKI menjadi titik awal keruntuhan Soekarno. Peristiwa ini masih menjadi misteri yang harus dipertanggungjawabkan, namun titik awal inilah yang kemudian menjadi latar belakang jatuhnya pamor Soekarno sejak 1965 – 1967. Turunnya Soekarno kemudian melahirkan suatu pemerintahan yang memiliki semangat menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang kemudian disebut masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. 

Peralihan kekuasaan terlihat jelas pada penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966 yang benar – benar dimanfaatkan Soeharto sebagai pengemban surat sakti dengan mengambil alih kebijakan dan keputusan politik seperti pembubaran PKI dan ormas – ormasnya. Padahal pada dictum supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (dalam artian pengamanan jalannya pemerintahan) dan bukan penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan). Hal ini yang kemudian mengindikasikan adanya kudeta dari Soeharto.

Klimaks ini berujung pada sidang Istimewa MPRS pada tanggal 23 Februari 1967 yang secara resmi dilakukan penyerahan pemerintahan kepada pengemban Supersemar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 7-12 Maret 1967, dilakukan sidang MPRS yang memutuskan :

  1. Pidato Nawaksara beserta pelengkapnya tidak memenui harapan rakyat dikarenakan tidak secara jelas mengenai pembentukan Gerakan 30 September.
  2. Presiden telah menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar.
  3. Presiden telah melakukan kebijakan secara tidak langsung menguntungkan bagi Gerakan 30 September

 Kemudian, pada 12 Maret 1967, Soeharto akhirnya diambil sumpah dan dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang kedua berdasarkan ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967.

    Bagikan:

    Leave a Comment