Bagi orang Jawa apalagi orang pedesaan tentu sangat familiar dengan kata “sanepo” yang berarti ungkapan atau kalimat dengan menunjuk suatu benda atau waktu yang mengandung maksud tertentu sehingga didalam kasusastran Jawa banyak ditemui kata sanepo atau dikenal sebagai tembung anduporo. Demikian pula dengan warga Nahdliyin atau santri maka juga sangat familiar dengan istilah “Isim Isyarah’ (اِسْم إِشَارَة) yang berarti kata petunjuk yang berfungsi untuk menunjuk sesuatu tentang maksud tertentu, karena biasanya para Kyai akan memberi wejangan dan pelajaran ilmu luhur pada para santri atau umat dengan menggunakan kalimat yang bernilai sanepo dan atau Isyarah, dengan demikian kata sanepo dan Isyarah’ pada prinsipnya adalah sama yang keduanya dalam istilah bahasa Indonesia dapat disebandingkan dengan bentuk majas personifikasi.

Berziarah ke komplek makam ulama di Gunung Santri, Kecamatan Muntilan, Kab. Magelang Jawa Tengah maka secara tersirat kita akan tergugah kesadaran tentang beberapa ilmu yang paling tidak bisa di ambil hikmah setelah kita mampu menafsirkan metodologi sanepan dan atau isyaroh dimaksud.

Komplek makam yang terletak di Gunung Pring tersebut adalah makam bagi para Ulama yang terdiri dari Kyai Raden Santri berikut seluruh kerabat keturunanya yaitu Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, Kyai Ahmad Abdulhaq dan Kyai Dalhar.

Dikisahkan Kyai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pamanahan atau saudara kandung Panembahan Senopati ing Ngalogo yang merupakan pendiri dinasty Kerajaan Mataram Islam.

Meruntut nasabnya maka sampai pada Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit yang dikisahkan jika dahulu Prabu Brawijaya memiliki salah satu istri yang bernama Putri Wandan Sari atau Wandan Kuning dan ketika beliau hamil dan akan melahirkan anak dari benih Prabu Brawijaya, maka karena intrik dan konflik yang terjadi di Istana maka bayi tersebut diserahkan pada Patih Gajah Permodo dengan pesan agar bayi tersebut dilenyapkan, namun oleh Ki Patih bayi tersebut justru diberikan kepada Ki Buyut Masahar selanjutnya anak tersebut dirawat oleh Ki Buyut Masahar dan diberi nama Lembu Peteng dan diasuh hingga dewasa.

Dikisahkan yang pada intinya Lembu Peteng kecil dapat diketahui sebagai anak kandung Prabu Brawijaya kemudian diberi nama Raden Bondan Kejawan serta diberi pula hadiah yang berupa senjata pusaka, yang salah satunya adalah tombak Kyai Pleret, setelah dewasa Raden Bondan Kejawan kemudian berguru pada Ki Ageng Tarub yang dalam legenda dikisahkan berhasil menikah dengan Dewi Nawangwulan dan memiliki putri bernama Dewi Nawangsih.

Bagikan:

Leave a Comment