Lahir di Palembang tahun 1767 dengan nama asli Raden Hasan Pangeran Ratu, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II merupakan pemimpin pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Ia wafat di Ternate pada 26 September 1852. Semasa hidup, beliau dikenal sebagai sosok pejuang yang menjaga bangsa terutama Bumi Sriwijaya melawan pertempuran Inggris dan Belanda.

Atas perjuangan terhadap Tanah Air, nama besar SMB II diabadikan sebagai jalan, bandara internasional di Palembang dan menjadi nama Museum di kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang.

Belanda gusar bukan kepalang. Dua kali menyerang, dua kali pula kalah dari Sultan Mahmud Badaruddin II dalam Perang Muntinghe atau Perang Palembang pada Juni dan Oktober 1819. Rencana serangan balasan pun disiapkan, dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Jenderal Mayor H.M De Kock memimpin armada Belanda dalam upaya ketiga menaklukkan Kesultanan Palembang. Berbagai rencana matang disiapkan. Ada kurang lebih 21 kapal laut dan ratusan perahu kecil disiapkan. Pada Mei 1821, ekspedisi ini tiba di perairan Sungai Musi.

“Benteng pertahanan Palembang di Pulau Salanama tak mampu membendung kedatangan armada perang Belanda yang begitu besar,” tulis Farida, Dosen FKIP Universitas Sriwijaya dalam Perang Palembang dan Benteng – Benteng Pertahanannya saat Seminar Nasional ‘Palembang:Masa Lalu, Kini dan Masa Depan.

Baca: Kapitan Pattimura, Pahlawan yang Dihukum Gantung Belanda

Belanda benar-benar siap menggempur Palembang. 10 Juni 1819, armada Belanda mendekati benteng pertahanan Palembang. Pasukan infanteri dikerahkan, untuk menempatkan meriam. Sekaligus menembus jalur rawa agar mudah menyerang ke depan benteng Plaju. Efektif untuk menggempur pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Armada Belanda pun juga membersihkan tonggak yang dipasang pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II di Sungai Musi. Sesuatu yang tak mereka lakukan saat dua kali kalah dalam Perang Muntinghe. Meski demikian, Kesultanan Palembang mampu melawan dengan hebat atas serangan ini.

Sultan Mahmud Badaruddin II memimpin Kesultanan Palembang selama 1804 – 1821. Ia menjadi sultan saat dua raksasa imperialis, yakni Inggris dan Belanda sedang bertarung di Hindia Belanda. Alhasil, Palembang berada di antara dua negara yang sedang berperang itu.

“Sultan yang ahli perang. Orang Inggris menjulukinya sebagai harimau yang tak pernah jinak,” tulis Kemas A. R. Panji, dosen Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Palembang

Letak Palembang di antara Jawa dan Semenanjung Malaya. Juga penghasil timah dan produk rempah, Karena itu Inggris memandang Palembang sangat strategis. Saat Belanda kalah dari Inggris, Thomas Stamford Raflles merayu Sultan Mahmud Badaruddin II agar mau bekerjasama.

Alih-alih menerima tawaran itu, sang sultan menolak intervensi Inggris. Setelah memastikan Batavia berada dipangkuan Inggris, sultan mengirim utusannya untuk mengusir Belanda dari Loji Sungai Aur pada 14 September 1811. Keinginan itu ditolak Residen Jacob Groenhof van Woortman dengan alasan tidak ada perintah dari Batavia.

Baca: Kedekatan Soekarno Dengan Che Guevara Usai KAA 1955

“Para bangsawan itu kemudian menguasai loji dan mengusir semua orang yang tinggal di loji. Mereka dibawa keluar sungai Musi dan dibantai di daerah muara Sungai Musi (Sunsang),” tulis Farida, Dosen FKIP Universitas Sriwijaya dalam Konflik Politik di Kesultanan Palembang (1804-1021) dimuat Jurnal Sejarah Lontar Volume 4 no. 2 Juli – Desember 2017.

Peristiwa pembantaian rombongan Belanda itu kemudian dikenal dengan peristiwa Palembang Massacre. Pasca peristiwa itu, Palembang menjadi kesultanan yang berdaulat dan menolak Inggris. Thomas Stamford Raffles kemudian mengirim pasukan di bawah komando Robert Rollo Gillespie pada 19 Maret 1812 untuk menghukum Sultan Badaruddin II.

Dalam perang singkat itu, Kesultanan Palembang takluk dari Inggris lantaran adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II yakni Pangeran Dipati berkhianat. Inggris kemudian mengangkat Pangeran Dipati sebagai sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Tapi perlawanan Palembang tetap berkobar.

Sultan Mahmud Badaruddin II mundur ke pedalaman yakni ke Buaya Langu. Pasukan Inggris di bawah pimpinan Kapten Meares terus mengejar. Ambisi itu justru membuat Kapten Meares tewas pada 28 Agustus 1812 di Muntok. Seluruh rakyat dan sebagian besar bangsawan Palembang mendukung penuh sang sultan.

Praktis, Sultan Najamuddin II meski dipilih Inggris memimpin Kesultanan Palembang, tapi tetap tak memiliki kuasa penuh lantaran tak didukung rakyat. Setelah Belanda kembali berkuasa atas Hindia Belanda pada 1818, Sultan Mahmud Badaruddin II tetap menolak kedatangan mereka ke Palembang.

Hingga meletuslan Perang Muntinghe atau Perang Palembang pada 1819. Salah satu perang maritim terbesar di nusantara yang terjadi dua kali dengan kekalahan dipihak Belanda. Hingga siasat licik Belanda yang membuat Sultan Mahmud Badaruddin II kalah pada perang ketiga.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment