Menilik sejarah berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta, bahwa cikal bakal berdirinya kerajaan ini diawali dari perpecahan Kesultanan Mataram Islam atau Mataram Baru. Hingga akhirnya pecah menjadi dua kekuasaan, Ngayogyakarta dengan Surakarta.
Peristiwa ini terjadi saat Kesultanan dipimpin oleh Amangkurat I yang bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Pada zamannya, Keraton Mataram dipindah dari Karta yang berada di barat daya Kota Gede, ke Plered (kini Pleret, Bantul) di tahun 1647.
Dalam menjalankan politik perdagangan, Amangkurat I menjalin hubungan kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Padahal VOC merupakan musuh utama Sultan Agung, ayah Amangkurat I.
Pada tahun 1646 dia mengadakan perjanjian, antara lain VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan.
Semasa Amangkurat I memimpin, terjadi banyak pemberontakan skala kecil hingga besar. Kondisi pemerintahan kurang stabil dan banyak pihak yang tidak puas dengan kebijakan raja. Titik didihnya adalah ketika Raden Trunojoyo dari Madura mengadakan pemberontakan besar-besaran untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat I.
Dikisahkan bahwa pemberontakan Trunojoyo ini juga disokong oleh putra mahkota Raden Mas Rahmat yang bergelar Pangeran Adipati Anom, dan dukungan dari beberapa pihak lainnya.
Pemberontakan ini berhasil, Amangkurat I bersembunyi di Tegalarum.
Baca: Sejarah Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Kekuasaan Mataram
Babad Tanah Jawi menuturkan, dalam pelarian inilah Amangkurat I meninggal dunia. Kematiannya dipercepat oleh racun Adipati Anom. Sebelum mengembuskan napas terakhir, dia menunjuk putra mahkota sebagai penerusnya dan berwasiat untuk menumpas Trunojoyo.
Sesuai wasiat ayahnya, Adipati Anom bekerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo. Dia menandatangani Perjanjian Jepara 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati Anom melawan Trunojoyo. Sebagai gantinya, kongsi dagang tersebut berhak memonopoli perdagangan di pantai utara Jawa.
Atas bantuan VOC, Adipati Anom diangkat sebagai raja tanpa takhta bergelar Amangkurat II, dengan pusat kerajaan di bukaan hutan Wanakerta yang diberi nama Kartasura. Trunojoyo akhirnya berhasil ditangkap dan dihukum mati awal tahun 1680.
Kepatuhan Amangkurat II pada VOC menyebabkan kalangan istana banyak yang tidak puas, dan pemberontakan terus terjadi.
Pengganti Amangkurat II, Sri Susuhunan Amangkurat Mas yang bergelar Amangkurat III dikenal sebagai penentang VOC. Selain itu, cara memerintahnya ternyata juga tidak disenangi oleh banyak pihak.
VOC lantas mengangkat Pangeran Puger sebagai raja tandingan, bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau Sri Susuhunan Pakubuwana I. Kesultanan Mataram memiliki matahari kembar pada tanggal 6 Juli 1704.
Setahun kemudian, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi, sedangkan dia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Takhta Kartasura kemudian jatuh ke tangan Pakubuwana I pada tanggal 17 September 1705. Pada akhirnya Amangkurat III ditangkap dan ditahan di Batavia. Dari sana dia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka. Amangkurat III akhirnya meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
Kondisi yang tidak stabil kemudian berlanjut di tahun-tahun selanjutnya. Bahkan pengganti Pakubuwana I, Raden Mas Prabasuyasa bergelar Pakubuwana II terlibat konflik dengan Mangkubumi yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Konflik saudara itu berawal saat Mangkubumi memenangkan sayembara yang diadakan Pakubuwana II, yaitu meredam pemberontakan. Tetapi elite istana yang menjadi saingan Mangkubumi, membujuk raja untuk tidak menyerahkan tanah berdikari yang dijanjikan.
Baca: Tentara Super Power Mongol dikalahkan Pasukan Semut Raden Wijaya di Jawa
Internal keraton semakin keruh dengan kedatangan gubernur jenderal VOC Baron van Imhoff. Dia mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Hingga akhirnya Mangkubumi meninggalkan Keraton Surakarta yang jadi pusat kerajaan pengganti Kartasura, dan bergabung dengan pemberontak hingga terjadilah perang saudara.
Di tengah panasnya suasana perang, Pakubuwana II jatuh sakit akhir tahun 1749. Pakubuwana II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada salah satu gubernur VOC Baron von Hohendorff. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749. Sejak itu hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana III.
Kekacauan politik di keraton baru dapat diselesaikan setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dan Kasunanan Surakarta dengan rajanya Pakubuwana III tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti.
Leave a Comment