Plato adalah murid setia Socrates yang banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat Socrates. Platolah yang berinisiatif menulis ajaran filsafat Socrates dalam karya – karyanya. Karya – karya Plato diantaranya Dialogue (Dialog), Republic (Republik), Statesman (Negarawan), dan Apologia (Pembelaan). Pengaruh pemikiran Socrates pada Plato dapat dilihat dari pandangannya mengenai keutamaan atau kebajikan (virtue) senagai dasar negara yang ideal. Ajaran Socrates tentang keutamaan diterima secara bulat oleh Plato.
Sebagai seorang pemikir, reputasi Plato mungkin melebihi reputasi gurunya, Socrates. Filsuf Amerika Alfred North Whitehead melukiskan kebesaran Plato. Ia berpendapat bahwa seluruh sejarah filsafat Barat hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato. Apabila dicermati dengan teliti, harus diakui bahwa ungkapan tersebut berlaku juga pada ajaran Aristoteles pada umumnya, terutama pada karyanya Politics. Melalui pemikiran Plato dan Aristoteles, peradaban Yunani Kuno mempengaruhi secara substansial peradaban Renaissance (abad ke – 14 sampai abad ke 16), Aufklarung (Pencerahan) serta tradisi intelektual Islam Abad Pertengahan.
Menurut Plato, negara ideal harus berlandaskan pada prinsip keutamaan. Keutamaan yang dimaksud adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai keutamaan tersebut. Atas dasar itulah Plato melihat pentingnya lembaga pendidikan bagi kehidupan bernegara. Menurutnya, tidak ada cara lain yang paling efektif untuk mendidik warga negara agar menguasai pengetahuan kecuali dengan membangun lembaga – lembaga pendidikan tersebut. Motivasi inilah yang mendorong Plato membangun sekolah atau akademi pengetahuan.
Begitu pentingnya keutamaan ini sehingga Plato berpendapat bahwa negara yang ideal atau negara terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh dengan keutamaan. Mereka yang berhak menjadi penguasa adalah mereka yang mengerti sepenuhnya prinsip keutamaan ini. Plato menyebut negarawan seperti ini raja-filsuf (philoshoper-king). Plato menganalogikan raja-filsuf ini dengan dokter. Maksudnya, raja-filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa, serta mencari cara untuk menyembuhkan penyakit ini. Keluasaan pengetahuan (keutamaan) memungkinkan raja-filsuf melakukan semua itu.
Hubungan timbal balik dan pembagian kerja secara sosial merupakan prinsip pokok kenegaraan yang lain. Dasarnya adalah setiap manusia secara ilmiah memiliki bakat dan potensi yang unik dan manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Pembagian kerja dibutuhkan karena adanya perbedaan – perbedaan ilmiah itu. Lebih dari itu, negara muncul karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip larangan atas pemilikan pribadi baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. Uang, anak maupun istri merupakan milik negara. Anak yang baru dilahirkan tidak boleh diasuh secara eksklusif oleh ibunya, melainkan dipelihara oleh negara. Menurut Plato, dengan adanya hak kepemilikan pribadi akan menyebabkan adanya kecemburuan dan kesenjangan sosial serta membuat situasi individu berusaha menumpuk kekayaan sebesar – besarnya dan memiliki sesuatu tanpa batas. Hal ini yang akan menyebabkan kompetisi tidak sehat serta munculnya sifat rakus dan tamak, yang akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Dalam konteks inilah Plato mengemukakan gagasannya mengenai kepemilikan bersama dan kolektivisme. Intinya, Plato mengusung anti individualisme serta anti hak dan kebebasan individu.
Sikap antidemokrasi Plato merupakan refleksi kekecewaan atas kehancuran negara Athena yang dipujinya atas demokrasi yang diterapkan di Athena. Kehancuran Athena menurutnya tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal (serangan Sparta atau kekahalan Athena dalam perang Peloponessia), tetapi juga karena faktor internal dalam bentuk disintegrasi dan disorientasi politik akibat penerapan demokrasi. Kemenangan Sparta atas Athena juga menunjukkan bahwa prinsip – prinsip kenegaraan Sparta yang bersifat aristokrasi dan militeristis ternyata lebih unggul dibandingkan sistem pemerintahan yang demokratis. Dalam bukunya Republic, misalnya Plato menunjukkan simpati dan kekagumannya terhadap sistem otoriter Sparta serta antipatinya terhadap demokrasi yang digunakan oleh Athena. Bagi Plato, demokrasi yang dianut Athena membuat negara ini lemah, disintegratif, serta tidak stabil.
Menurut Plato, sistem pemerintahan demoratis pada akhirnya melahirkan pemerintahan tirani. Pada negara – negara demoratis, setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang ia kehendaki tanpa adanya kontrol ketat dari negara. Hal ini berakibat pada adanya tindakan sesuka hati sehingga timbul kerusuhan yang disebabkan berbagai tindak kekerasan (violence), kekacauan, (anarchy), kebobrokan moral (licentiousness), dan ketidakpatutan dalam sikap-perilaku (immodesty).
Kebebasan juga memberi kesempatan bagi perebut kekuasaan antara rakyat dan penguasa serta antara orang kaya dan orang miskin. Akibatnya, kohesi sosial semakin terancam yang potensial melahirkan konflik. Dalam kata – kata Plato, demokrasi itu “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.” Kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan kesamaan hak. Penjungkirbalikan massal terhadap moralitas dan akal budi dibenarkan atas nama kebebasan.
Sumber : Buku Airlangga, Sejarah Peminatan Kelas X
Leave a Comment