Pria renta berusia 82 tahun tersebut hidup miskin sebagai petani di kaki gunung Wilis, tepatnya tinggal di dusun Goliman, desa Parang kecamatan Banyakan, Kediri.
Bagaimana mungkin, seorang Djuwari, yang memiliki segudang ‘prestasi’ dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sekarang tidak merasakan manisnya madu kemerdekaan. Padahal pria renta yang hidup dari bertani dan ‘cuma’ dihargai pemerintah lewat sebuah Bantuan Langsung Tunai itu adalah saksi sejarah.
Tanpa ada Djuwari, seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak mampu meneruskan perjuangannya. Meski ketika itu, Djuwari hanya bertugas memanggul sang Jenderal Besar.
Betapa tidak, selama berpuluh-puluh kilometer, Djuwari harus memanggul Soedirman. Dia hanya berhenti setiap 30 km. Semua itu dilakukan Djuwari dengan senyuman. Karena dia berharap, sang Jenderal selamat dan mampu mengemban tugas-tugas penting kenegaraan.
“Inggih leres, kulo Djuwari, ingkang nate manggul Jenderal Soedirman, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang tengah duduk sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari.
Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Djuwari memang tidak pernah berpikir untuk mendapatkan imbalan. Dia sudah sangat senang diberi ‘upah’ sepotong kain panjang dari Jenderal Sudirman, ketika itu. Dia tidak meminta sebutan veteran ataupun penghargaan lain dari negara.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar suami almarhumah Saminah itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa.
Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam.
Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya.
Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.
Leave a Comment