.daftarisi { padding:10px; background:#434A54; color:#fff; border-radius:0px 0px 5px 5px; } .juduldaftarisi { padding:10px; background:#656D78; color:#fff; border-radius:5px 5px 0px 0px; font-weight: bold; text-align: center }

Lensa Budaya ~ Beripat Beregong adalah salah satu kesenian pertunjukan yang berasal dari Provinsi Bangka Belitung. Kesenian ini menunjukkan kejantanan dari seorang lelaki dengan cara saling memukul memakai senjata rotan. Kata “ripat” pada kesenian ini artinya adalah memukul dan alat musik gong merupakan alat musik pengiring tarian.

Penilaian yang dilakukan adalah dengan cara melihat siapa yang paling sedikit mendapatkan bekas pukulan, maka dia lah pemenangnya. Tujuan awal dari permainan ini adalah selain mempererat hubungan antar kampung, juga untuk memupuk sportivitas para pemainnya.

Sejarah Beripat Beregong

Tidak ada catatan secara pasti kapan tradisi ini dimulai, Namun tradisi ini diperkirakan telah ada sejak lahirnya Kerajaan Badau, yakni kerajaan pertama di Belitung. Ada pula kisah yang terkait pada tarian ini. Zaman dahulu, di sebuah Kelekak Gelanggang yang saat ini dikenal dengan nama Desa Mentigi, terdapat seorang gadis yang kecantikannya membuat banyak kaum lelaki berniat untuk mempersuntingnya, terutama dikalangan para pemuda berilmu tinggi. Lantaran banyaknya lamaran yang datang, orang tua si gadis sulit dalam memutuskan atau juga menolak pemuda yang pantas untuk meminang anaknya.

Pada akhirnya orang tua si gadis memutuskan untuk menyerahkan keputusan tersebut kepada para peminang. Para peminang kemudian sepakat untuk bertanding ilmu dengan memakai rotan sebagai alat pemukulnya. Peminang yang terkena pukulan tepat dibagian punggung akan dinyatakan kalah, tetapi jika kedua-duanya pemain tersebut terkena pukulan, maka pemenangnya yaitu yang paling sedikit terkena pukulan.

Pada hari yang telah disepakati, para peminang kemudian berkumpul di gelanggang sedangkan para penduduk juga berdatangan untuk menyaksikan laga kesaktian tersebut. Alat musik seperti gong, kelinang, gendang, tawak-tawak, dan serunai dipakai sebagai pengiring. Diiringi dengan musik, para jagoan tersebut kemudian berseru menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi siapa saja. Menurut cerita, dikarenakan dalam pertandingan tersebut adalah para orang-orang berilmu tinggi, maka dalam pertandingan ini tidak ada yang menang ataupun kalah.

Pertunjukan Beripat Beregong

Dalam pertunjukannya, permainan ini umumnya akan dipimpin oleh seorang dukun kampung dengan dibantu oleh juru pisah dan juga pencatat serta dilakukan ketika malam hari. Setelah gong dibunyikan, para penari mulai ngigal (menari-nari) sambil berseru seakan-akan meminang putri cantik. Disyaratkan, kedua pemain tersebut tidak boleh berasal dari kampung yang sama atau sejalan, dengan tujuan jika ada dendam, maka akan sangat kecil kemungkinannya untuk kembali bertemu.

Kedua pemain tersebut kemudian menghadap dukun dan jika disetujui, mereka akan membuka baju dari pinggang ke atas, untuk melindungi bagian kepala, biasanya akan ditutup dengan sehelai kain. Tangan kiri dan kaki juga akan dibalut sebatas lutut dibebat memakai kain untuk menangkis pukulan lawan. Aturan permainannya yaitu tidak boleh menyerang dengan cara mengecoh, harus saling serang dan tidak diperbolehkan menyerang bagian kepala ataupun bagian pinggang ke bawah. Pukulan akan dianggap sah jika mengenai bagian belakang lawan.

Sebelum pertandingan, rotan para pemain akan diperiksa dan diukur sama panjang, kemudian dibasuh dengan air jampi yang konon katanya akan berkhasiat untuk menahan rasa sakit karena walaupun terkena satu pukulan saja maka akan berbekas besar. Rasa sakit akibat pukulan tersebut biasanya akan dirasakan setelah para pemain sampai di rumah. Lama pertunjukan dari kesenian ini pada awalnya berlangsung selama seminggu. Tetapi saat ini biasanya hanya ditampilkan dalam waktu yang jauh lebih singkat.

Perkembangan Beripat Beregong

Sekarang ini permainan tersebut sudah sangat jarang sekali dimainkan, tetapi biasanya bisa dilihat pada perayaan Maras Taun dan juga Selamatan Kampung. Menyelenggarakannya pun juga tidak mudah, sebab harus dimainkan dengan dukungan lengkap, seperti harus adanya alat musik pukul, bangunan rumah tinggi (Balai Peregongan) sekitar 6 sampai 7 meter dan dibutuhkan seorang dukun atau ahli waris dari pemilik alat musik gong untuk memimpin acara menaikkan gong ke Balai Peregongan.

Bagikan:

Leave a Comment