Salah satu adagium populer dalam khasanah hukum yaitu keadilan akan ditegakkan meski langit akan runtuh atau bahasa latinnya “fiat justitia ruat caelum”. Ketika mendengar kalimat itu tentu akan menghasilkan harapan dengan menyisakan perasaan optimisme dan kegelisahan.

Optimisme dan kecemasan adalah keniscayaan dalam proses yang disebut dengan penegakan hukum karenanya harus benar benar berlangsung dengan menghasilkan rasa keadilan yang mampu menjawab ruang harapan tersebut. Penegakan hukum adalah proses untuk menegakan norma-norma yang berlaku dan telah diatur sebagai pedoman perilakunya dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan manusia dengan tetap memperhatikan aspek keberlangsungan seni dan budaya dalam bingkai moral dan akhlaq sebagai manifestasi terbinanya pola perikehidupan yang beradab.

Dalam negara hukum (rechstaat) maka keberhasilan dalam penegakan hukum adalah ketika semua norma dapat dijalankan dan ditaati oleh seluruh elemen masyarakat selaku subyek hukum, namun ketika terjadi adanya ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku (tritunggal) maka penegakan hukum tersebut belum dapat terwujud.

Pola penegakan hukum kita selama ini rasa rasanya hanya berpola pada pendekatan yang formalistik belaka karena diketahui jika penegak hukum hanya memaknai hukum dalam perspektif yang positivistik, sehingga hukum menjadi sempit sebagai ruang keadilan dan tentu sangat mengecewakan bagi para pencari keadilan (yustaible).

Dalam paradigma positivistik maka dalam wilayah praktik asas legalitas hukum telah menjadi “bias” dimana legalitas yang seharusnya menjadi batasan atas kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang untuk menentukan perbuatan seseorang masuk kualifikasi perbuatan pidana, justru senyatanya sering kita jumpai alat alat negara telah menggunakan wewenangnya untuk memaksa adanya unsur pidana agar seseorang dapat dihukum, karenanya justru bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.

Dalam pola positivisme maka teori hukum dikonsepsikan sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex sehingga aturan hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja yaitu seperangkat ketentuan tertulis yang telah dikeluarkan oleh negara harus ditaati karena mengandung sanksi dengan demikian nilai-nilai (values) yang terdapat dalam hukum positif (perundang-undangan) itulah yang berlaku secara absoluth dan tidak boleh ditawar tanpa memperhatikan aspek apakah penerapan hukum itu efektif atau tidak, adil atau tidak.

Penegakan hukum yang berpola positivisme hanya akan melahirkan konsep penegakan yang kaku, tekstual bahkan tak jarang justru lepas dari ajaran moral, seni dan budaya, demikian kadang kala sang Hakim yang merupakan representasi Tuhan di dunia ketika menyelesaikan perkara hukum sering terjebak oleh aturan formal sehingga kedudukan hakim agaknya hanya sebatas corong undang-undang, hal ini akan berpengaruh pada tujuan utama hukum yakni menegakkan  keadilan, maka keadilan pada aliran pemikiran filsafat positivisme adalah keadilan formalitas dan bukan keadilan yang subtansial.

Pendekatan hukum yang formalistik dibeberapa hal terkadang berbenturan dengan kreatifitas manusia didalam melakukan apresiasi seni dan budaya padahal seni berkaitan erat dengan keindahan atau estetika yang merupakan proses batin untuk menciptakan keindahan dan keselarasan.

Kesenian merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi manusia yang berhubungan dengan perasaan dan emosi yang dalam prosesnya adalah dalam rangka membangun kecenderungan, selera, dan orientasi kejiwaan kolektif dengan berbagai instrumen/ perangkat yang dapat didengar, dibaca, dilihat, dirasakan, dan direnungkan, sehingga karya seni bisa pula dikatakan sebagai salah satu potret peradaban.

Seni terkorelasi dengan budaya yang bertumpu pada nilai etika, moral, dan akhlak yang berlaku secara bersamaan dengan makna etimologis yaitu adat, kebiasaan, perangai, dan tabiat.

Penegakan hukum harus linier dengan proses seni dan budaya terlebih diIndonesia yang memiliki keaneka ragaman budaya baik kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing yang telah berakulturasi dengan kebudayaan lokal kesemuanya harus dilestarikan dan dikembangkan oleh kita saat ini, agar kekayaan kebudayaan tersebut dapat menjadi identitas Bangsa Indonesia.

Kebudayaan memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa, sehingga memajukan kebudayaan Nasional saat ini menjadi urgent di tengah peradaban dunia untuk menjadikan kebudayaan sebagai investasi guna membangun masa depan. Keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan kota di tengah dinamika perkembangan dunia.

Sejarah bangsa ini telah banyak mengisahkan tentang keluhuran budaya, namun ternyata keluhuran tersebut dibeberapa hal tidak dapat diimplementasikan dalam pola positivistik hukum, hal inilah yang kemudian menjadikan problem dalam penegakan hukum sehingga justru tercipta carut marut dan bias subtansi keadilan.

Dalam penegakan hukum model positivistik maka seringkali menyisakan rasa frustasi bagi pencari keadilan dari unsur pegiat seni dan budaya akibat rasa keadilan hukum jauh dari apa yang diharapkan dan tragisnya dikawatirkan justru memasung kreativitas berkesenian dan upaya pelestarian kebudayaan.

Fenomena penegakan hukum tersebut akhirnya membuahkan suatu pertanyaan yaitu apa sebenarnya yang salah dengan hukum di Indonesia? Seolah hukum tidak bermanfaat sesuai fungsinya, memberikan rasa aman dan dapat menyelesaikan masalah secara adil. Kekacauan penegakan hukum di Indonesia tersebut ternyata bisa bersumber dari pembuatan dan penerapan hukum yang tidak manusiawi atau humanis tanpa mengakomodasi tata nilai etika, moral, dan akhlak dalam etimologis adat, kebiasaan, perangai, dan tabiat.

Hal lain yang menjadi tantangan serius dalam penegakan hukum adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disisi lain memiliki dampak positif namun juga menyisakan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia. Begitu pula dengan cyberspace, sebagai salah satu kemajuan di bidang teknologi tentunya merupakan suatu realitas yang dihadapi didalam upaya penegakan hukum oleh para legal metanarative

Penegakan hukum yang bersumber dari pola yang formalistik maka akan melahirkan cara cara yang tidak humanistic yang pada gilirannya akan tercipta ketidak percayaan subyek hukum pada hukum itu sendiri, sehingga hukum semakin jauh dari fungsi sebagai enigering sosial atau rekayasa sosial, jika demikian maka diperlukan pergeseran pola dalam penegakan hukum yang berbasis pada cara cara yang humanis karena perasaan humanis sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Perlakuan-perlakuan hukum yang tidak manusiawi tersebut pada akhirnya melahirkan kekerasan di masyarakat sebagai bentuk perlawanan dan penuntutan terhadap haknya.

Paradigma hukum positif yang menjadi kiblat dan pola penegakan hukum selama ini senyatanya telah kehilangan relevansinya dalam menjawab berbagai permasalahan hukum dalam kehidupan sehari hari masyarakat, karenanya di perlukan alternatif cara pandang untuk melihat dalam perspektif yang lebih kritis untuk membebaskan kajian dan pola penegakan hukum dari
otoritarianisme kaum yuris positivis yang elitis.

Perspektif kritis ini menurut Prof. Soetandyo Wignyosoebroto disebut dengan Critical legal Studies (CLS) Movement beliau pernah menyampaikan bahwa hukum secara
keseluruhan, bukan hanya sebagai persoalan menerapkan pasal-pasal undang-undang,
sementara persoalan empiris yang menyangkut kepekaan terhadap latar belakang sosial-budaya, kondisi politik, ekonomi dan sebagainya justru luput dari perhatian. Berdasarkan pemahaman ini dengan memperlihatkan bahwa keberadaan UU masih terdapat kekurangan-kekurangan, dan kekurangan itu perlu dilengkapi.salah satu solusinya adalah dengan mengunakan aliran pemikiran hukum berparadigma hermeneutik, melalui kajian penafsiran atas bunyi undang-undang, sehingga hakim bukan hanya sebagai corong dari pada UU, tetapi hakim juga bertugas menemukan hukum, melalui upaya
penafsiran hukum, asalkan memenuhi unsur kepatutan dan masuk akal.

Bertolak dari hal hal tersebut maka dalam proses penegakan hukum akan menumbuhkan sikap optimisme karena ruang kreativitas berkesenian akan tetap terjamin dengan melahirkan karya yang mampu secara tuntas memotret lenskap peradaban bangsa ini , kajian sejarah bangsa akan terus berlangsung dengan melahirkan anasir sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan serta upaya pelestarian kebudayaan tetap terjamin dengan melahirkan identitas kebangsaan yang luhur lagi mulia.

Sofyan Mohammad
Ketua LPBHNU Salatiga – Jateng

Bagikan:

Leave a Comment