Sebagaimana dikisahkan dalam Illiad dan Odisseia karya Homerus, Perang Troya diyakini terjadi pada abad ke 13 atau ke 12 SM di Asia Kecil (sekitar Dadanelles, Turki), yang bermula dari persaingan para dewi di kahyangan. Suatu saat Dewi Athena, Dewi Hera, dan Dewi Aphrodite bertengkar tentang siapa yang paling cantik diantara mereka. Karena tidak ada kesepakatan, maka mereka meminta Zeus untuk bertanya pada Paris, pangeran Troya yang dikenal jujur dan adil. Ketiga dewi saling berusaha mempengaruhi Paris agar memilih salah satu diantara mereka. Aphrodite menjanjikan akan memperoleh perempuan tercantik di dunia, yaitu Helen dari Sparta – terletak di Mikenai atau Akia. Tergiur tawaran Aphrodite, Paris kemudian memilih Aphrodite sebagai dewi tercantik di kahyangan.
Singkat cerita, Paris berangkat menuju Sparta untuk menemui Menelaus raja Sparta, suami Helen. Ia berpura – pura datang sebagai tamu. Pada malam hari, dengan bantuan Aphrodite, Paris menculik Helen dan membawanya ke Troya. Mengetahui istrinya diculik oleh Paris, Menelaus kemudian meminta bantuan kakaknya, Agamemnon raja Mikenai untuk mengembalikan istrinya. Agamemnon memanggil seluruh pasukan kerajaan dan pahlawan – pahlawan Yunani seperti Achilles, Ulysees, Aja, Nestor, Patroclus untuk bergabung menyerang Troya. Pasukan koalisi Akia dengan 1000 kapal pun berlayar menuju Troya.
Sepuluh tahun lewat, pasukan Akia tidak berhasil menembus pertahanan Troya. Akhirnya keluarlah ide cemerlang dari prajurit Akia bernama Odyyseus (Ulysses) yaitu dengan membangun kuda kayu raksasa, yang kemudian dikenal dengan nama Kuda Troya, didalamnya terdapat pasukan dari Akia. Sebagian pasukan Akia berpura – pura meninggalkan Troya. Mengira Akia mundur dan menganggap kuda raksasa tersebut merupakan pernyataan kalah, orang – orang Troya kemudian membawa kuda raksasa ini dan merayakan kemenangan atas Akia. Pada malam hari, ketika rakyat Troya tertidur lelap, para prajurit yang ada di dalam tubuh kuda Troya menyelinap keluar dari badan kuda dan membuka gerbang Troya. Seketika terjadi penyerbuan di malam hari oleh pasukan Akia. Troya luluh lantah. Menelaus berhasil mendapatkan kembali istrinya. Beberapa orang Troya, dibawah Aeneas berhasil menyelamatkan diri. Kelak bangsa Romawi mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Aeneas dan Roma menjadi tempat pengungsiannya.
Terlepas apakah kisah ini benar atau tidak, studi arkeologi sudah membuktikan kebenaran atas cerita ini. Senjata – senjata yang digunakan pada perang Kuda Troya pernah ditemukan oleh arkeolog Heinrich Schleimann di Mikenai, Yunani. Semula, Homerus dianggap sebagai saksi mata dari kisah Kuda Troya yang terjadi pada tahun 1180 SM. Namun belakangan ini diketahui, Homerus hidup di tiga abad setelah perang itu, yaitu sekitar tahun 900 – 800 SM. Tampaknya kisah ini terus dituturkan dari mulut ke mulut hingga tiga abad kemudian. Meski demikian, perang ini sesungguhnya bukan bertujuan untuk membebaskan seorang perempuan. Homerus hanya memberikan unsur sastra berupa penambahkan mitos dan dongeng tentang dewi – dewi Yunani Kuno sehingga sejarahnya sendiri menjadi kabur.
Tujuan perang sebenarnya adalah perebutan rute dagang di Laut Hitam yang dikuasai oleh orang – orang Troya. Pada masa itu, pelaut – pelaut manapun yang melalui Selat Dardanella menuju Laut Hitam harus menunggu angin baik. Mereka harus menurunkan barang – barang mereka dalam masa penantian. Tempat yang paling tepat menunggu angina baik yaitu di Pelabuhan Besik, pelabuhan utama Troya. Lokasi Troya memang strategis karena terletak persis di tengah – tengah persimpangan lalu lintas dari Barat ke Timur dan dari Selatan ke Utara. Karena letaknya yang strategis inilah, wilayah Troya menjadi perebutan. “Homerus telah mengubah motif penyerangan itu secara mengagumkan. Homerus menggambarkan orang – orang Yunani sebagai orang Arya barbar yang pergi berperang untuk membebaskan wanita,” ujar H.G. Wells dalam The Outline of History.
Leave a Comment