Sejak Belanda tiba lagi, rakyat dan pemerintah Indonesia sudah mengira niat negara tersebut yang akan memancangkan kembali kekuasaannya. Oleh lantaran itu, bangsa Indonesia yag tengah menikmati euphoria kemerdekaan terpanggil mengorbankan jiwa raga demi mempertahankan kedaulatan negara. Perang mempertahankan kemerdekaan tersebut tidak saja melibatkan tentara republic, melainkan seluruh dan pemerintahan diberbagai daerah.
a. Perang Gerilya Melawan Agresi Militer Belanda
Pihak sekutu menyadari bahwa pertempuran dengan bangsa Indonesia tidak menghasilkan apa apa. Oleh lantaran itu, Sekutu mengajak Belanda mengakhiri perang dan mengadakan negosiasi genjatan senjata. Rencana penghentian permusuha tercapai seteleh Sekutu, Belanda, dan Indonesia melaksanakan negosiasi di Linggajati pada 10-15 November 1946. Penandantanganan persetujuan di Linggajati berlangsung 25 Mater 1947.
Pihak republic tidak sepenuhnya mempercayai hasil negosiasi Linggajati lantaran tempat daerah yang dikosongkan Ingggris kemudian diganti oleh tentara tentara Belanda. Para pemimpin republic meyakini, Belanda tidak usang lagi akan melancarkan serangan berikutnya. Karena itulah panglima Soedirman dan Jendral Oerip Soemoharjo menginstrusikan kepada tentara Republik untuk mempertahankan kubu kubu disekitar kantong kantong yang diduduki Belanda. Tentar republic yang dibantu rakyat sekitar segera mempersiapkan kubu, rintangan jalan, dan jebakan tank.
Dugaan para pemimpin bangsa ternyata benar. Pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militer pertamaa ke tempat daerah republic di Sumatra dan Jawa. Serangan gencar Belanda menciptakan pasukan republic menjadi tepencar pencar tanpa koordinasi. Ditambah lagi persenjataan antara republic terlalu ringan untuk menghadapi pasukan dan persenjataan tempur Belanda. Dalam kondisi menyerupai itu, para pemimpin tentara republic menentukan tartik gerilya dalam upaya memenangkan peperangan perang gerilya merpakan bentuk perang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang.
Perang gerilya bangsa Indonesia mempunyai ciri ciri, yakni sebagai berikut.
1) Menghindari perang terbuka.
2) Menghantam mush secara tiba tiba.
3) Menghilang ditengah lebatnya hutan atau kegelapan malam.
4) Menyamar sebagai rakyat biasa.
Memasuki selesai tahun 1947, tentara repblik yag bergerilya mulai terorganisir dan mempunyai kamando gerilya yang dinamis. Akibatnya, Belanda mejadi kesulitan untuk menggempur tentara republic. Setiap sasaran yang direng Belanda, ternyata telah ditinggalkan tentara republic. Namun, pada ketika yang tidak disangka sangka, tentara republic menyerang keddukan Belanda dengan cepat. Saat Belanda kembali melancarkan serangan, kubu kubu tentara republic telah kosong. Dengan demikian, Belanda hanya menguasai kota kota besar dan jalan jalan raya.
Sementara perang berlangsung, dimedan lain tokoh tokoh republic berjuang melalui jalur diplomasi untuk menarik dukungan internasional. Hasilnya, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian tembak menembak semenjak 1 Agustus 1947. Disusul dengan pengiriman Komisi Jasa Tiga Negara (KTN) untuk mencari penyelesaian damai. Sebagai misi tenang PBB, KTN kemudian berhasil membawa kedua pihak yang bertikai kemeja perundingan. Pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948, Indonesia dan Belanda melaksanakan negosiasi digeladak kapal USS Renville dibawah pengawasan KTN. Hasil keputusan Renville memang tidak memuaskan kedua belah pihak, tetapi negosiasi tersebut telah menghentikan peperangan.
Demi menaati ketentuan dalam Persetujuan Renville, pasukan republic terpaksa harus meninggalkan dan mengosongkan tempat gerilya yang cukup luas. Sejak 1 Februari 1948 pasukan Tentara Nasional Indonesia di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra mulai melaksanakan hijrah kepusat pemerintahan RI di Yogyakarta. Kosongnya tentara republic didaerah tempat gerilya tersebut ternyata dimanfaatkan sekelompok organisasi bangsa Indonesia untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara sendiri. Di Jawa Barat mucul rongrongan dari DI/TII, sedangkan di Jawa Timur makar dilakukan pihak PKI. Akibatnya, perhatian tentara republic terpecah menghadapi dua musuh sekaligus. Kendati demikian, bangsa Indonesia berupaya sekut tenaga memumpas gerakan separatis tersebut.
Gencatan senjata yang diberlakukan semenjak Perundingan Renville, disatu sisi sanggup dimanfaatkan untuk konsolidasi pasukan. Namun disisi lain, pelaksanaan hijrah mengakibatkan kasus baru, yakni membengkaknya kebutuhan sandang pangan dan persenjataan. Se;ain itu, pengalaman perang pada masa aksi militer pertama telah menunjukkan bahwa angkatan perang republic kurang efektif dan kurang terkendali. Oleh lantaran itu, para petinggi republic melakuka rekonstruksi (penyusunan kembali) dan rasionalisasi (penghematan biaya dan efektivitas pekerjaan) besar besaran yang dikemudian hari dikenal sebagai “Re-Ra”. Adapun penyelenggaraan rekonstruksi dan rasionalisasi ini ialah sebagai berikut.
1) Merampingkan jumlah kekuatan tentara untuk memperoleh angakatn perang efektif dan mobil.
2) Pengelompokan ulang divisi divisi yang ada lantaran terdapat beberapa divisi usang yang bahu-membahu sudah tidak lagi.
3) Menciptakan hubungan yang lebih akrab antara Tentara Nasional Indonesia da rakyat.
Berkat pengalaman yang diperoleh selama menghadapi aksi militer Belanda yang pertama, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution memandang perlu mengeluarkan konsepsi pertahanan. Kosepsi itu kemudian dituangkan dalam Surat Perintah Siasat No.1 tertanggal 9 November 1948 yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Tidak melaksanakan pertahanan yang linear;
2) Memperlambat setiap majunya sebuan musuh dan pengungsian total, serta bumi hangus total;
3) Membentuk kantong kantong di tiap onderdistrik yang mempuyai kompleks dibeberapa pegunungan; dan
4) Pasukan pasukan yang berasal dari tempat daerah federal menyusup kebelakang garis musuh (wingate) dan membentuk kantong kantong sehingga Pulau Jawa akan manjadi medan gerilya yang luas.
Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali melancarkan aksi militer kedua. Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan tentara republic ke luar kota untuk bergerilya kebali. Soedirmn tetapkan untuk memimpin gerilya sekalipun waktu itu ia dalam keadaan sakit besar (TBC).
Jenderal Soedirman memimpin usaha gerilya dengan berpindah pindah. Dalam keadaan kesehatannya yang makin menurun dan terpaksa harus ditandu, Jenderal Soedirman telah menjelajahi wilayah gerilya diderah selatan Yogyakarta, Keresidenan Surakarta, Madiun, dan Kendiri. Dengan semakin dipertajamnya perang gerilya, tentara republic mulai memegang inisiatif pertempuran. Belanda menjadi terdesak dan barisan pertahanannya banyak yang hancur. Dalam keadaan demikian, dunia internasional makin gencar mengecam Belanda sehingga negeri itu bersedia mengadakan negosiasi dengan pihak Indonesia.
Ketika negosiasi tengah berlangsung, pada 1 Mei 1949 Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman mengeluarkan amanat kepada para komandan kesatuan biar tidak turut memikirkan Perundingan Roem-Royen. Menurut Soedirman, hal itu hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan. Selain itu, ia pun menyeruka biar tetap waspada meskipun negosiasi tersebut menghasilkan akad bersama.
Dugaan pihak Tentara Nasional Indonesia terhadap kemungkinan terjadinya serangan Belanda tidak meleset. Pasukan pasukan Belanda yang dipindahkan dari Yogyakarta ke Surakarta ternyata melaksanakan tekanan tekanan militer ke tempat yang gres ditempatinya. Oleh lantaran itu, Tentara Nasional Indonesia memerintahkan penyerangan terhadap objek objek vital di Surakarta. Di tempat tempat lain pun perlawanan gerilya terus berlangsung tanpa terpengaruh oleh hasil perundingan.
Dari hari ke hari kedudukan Belanda semakin terjepit. Kota Yokyakarta sepenuhnya telah dikosongkan tentara Belanda pada 29 Juni 1949. Sejak ketika itu, Tentara Nasional Indonesia mulai memasuki Kota Yogyakarta. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan para pembesar yang ditawan, kembali ke Kota Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Panglima Besar Soedirman gres tiba pada 10 Juli 149. Kembalinya para pemimpin RI ke ibu kota Yogyakarta menyampaikan kemenanga luar biasa politik Indonesia di kancah diplomasi.
Pemerintah Republik Indonesia kepada keadaan semula. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin RI di Jakarta pada 13 Juli 1949. Pertemuan itu menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1) PDRI menyerahkan keputusan mengenai Persetujuan Roem-Royenkepada cabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan angkatan perang.
2) Mr. Syafruddin Prawiranegara selaku Presiden PDRI menyerahkan kekuasaan sementaranya kepada Wapres Drs. Mohammad Hatta.
Selanjutnya, pada 15 Desember 1949 diadakan pemilihan presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Keesokkan harinya Ir. Soekarno terpilih menjadi Presiden RIS. Pada 20 Desember 1949 Drs. Mohammad Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri RIS. Adapun pemangku jabatan Presiden RI yang terpilih ialah Mr. Assat (mantan Ketua KNIP) yang dilantik pada 27 Desember 1949.
Pada 23 Desember 1949 delegasi RIS dipimpin Drs. Moh. Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk menandatangani naskah pengukuhan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Upacara penandatanganan naskah pengukuhan kedaulatan itu dilakukan bersamaan, yaitu di Indonesia dan Belanda pada 27 Desember 1949. Dengan demikian, semenjak ketika itu RIS menjadi negara merdeka dan berdaulat, serta menerima mengakuan internasional.
b. Serangan Umum 1 Maret 1949
Puncak serangan pasukan Tentara Nasional Indonesia dilaksanakan pada 1 Maret 1949 yang dikenal dengan sebutan Serangan Umum. Inisiatif serangan itu bermula dari Sri Sultan Hamengkubowono IX yang mendengar kabar info dari siaran radio (Voice of America, dan ABC) bahwa lembaga Dewan Keamanan PBB akan membericarakan kasus Indonesia pada bulan Maret 1949. Atas dasar itu, ia beropini bahwa pihak RI perlu menciptakan kejutan yang bisa membuka pandangan dunia terhadap usaha bangsa Indonesia. Oleh lantaran itu, Sri Sultan mengirim surat kepada Panglima Besar Soedirman yang isinya meminta izin biar diadakan serangan umu. Sebagai balasannya, Panglima Besar Soedirman menyampaikan biar Sri Sultan berafiliasi pribadi dengan Letkol. Soeharto (Komandan Bridge 10 Daerah Wehrkreise III Yogyakarta). Kedua tokoh itu kemudian sepakat menyusun rencana serangan umum atas kedudukan Belanda di Yogyakarta yang pada ketika itu berada di bawah pimpinan Kolonel van Langen.
Untuk mempermudah koordinasi penyerangan, wilayah serangan dibagi dalam lima sektor, yaitu sebagai berikut.
1) Sector barat dipimpin Letkol. Ventje Sumual.
2) Sector selatan dan timur dipimpin Mayor Sarjono.
3) Sector utara dipimpin Mayor Kusno.
4) Sector kota dipimpin Letnan Amir Murtono dan Letnan Marsudi.
Serangan Umum dilancarkan pada pukul 06.00 bersamaan dengan dibunyikannya sirene sebagai tanda jam malam berakhir. Belanda terkeut dan kewalahan meghadapi serangan mendadak dipagi hari itu. Mereka tidak sempat melaksanakan koordinasi dengan baik. Apalagi alat komunikasi telah banyak disabot oleh pihak republic. Dalam waktu singkat tentara republic berhasil memukul semua posisi militer Belanda. Selama enam jam Yogyakarta dikuasai tentara republic.
Keesokkan harinya, kejadian Serangan Umum 1 Maret 1949 ini dilaporkan oelh R. Sumardi kepemerintahan PDRI di Bukittinggi melalui radiogram. Berita itu kemudian disampaikan kepada A.A. Maramis, diplomat RI Di New Delhi, India, dan L.N. Palar, diplomat RI di New York, Amerika Serikat. Peristiwa serangan ini pun disiarkan pula ke luar negeri melalui pemancar radio di onosobo. Meskipun pemancar radio memang berhasil dirusak Belanda, tetapi info itu terlanjur disebarluaskan ke luar negeri.
Tepat pukul 12.00, pasukan republic mengundurkan diri dari tempat pendudukannya. Ketika bala pinjaman Belanda tiba di Yogyakarta, pasukan republic sudah tidak ada. Dengan kendaraan lapis baja, Belanda hanya bisa menghantam tempat daerah sepanjang pengunduran pasukan republic.
Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti penting bagi usaha mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Meskipun serangan itu hanya bisa menguasai Yogyakarta sekitar enam jam, namun dampaknya cukup besar. Berikut dampak yang ditimbulkan akhir serangan umum tersebut.
1) Menunjukan kepada dunia internasional bahwa pemerintah RI masih ada dan Tentara Nasional Indonesia masih mempunyai kemampuan menyerang.
2) Mendukung usaha diplomasi pemerintah RI di lembaga PBB.
3) Mendorong terjadinya perubahan perilaku Amerika Serikat yang berbalik menekan Belanda biar melaksanakan negosiasi dengan pihak RI.
4) Menginggikan moral rakyat dan Tentara Nasional Indonesia yang sedang bergerilya.
5) Mematahkan moral dan semangat pasaukan Belanda.
Leave a Comment