Sebagai badan hukum yang resmi dan legitimate maka dipandang perlu dan mendesak agar Jam’iyah NU dapat melakukan tertib administratif didalam melakukan sertifikasi atas aset aset yang dikuasai, dimanfaatkan, dipergunakan untuk keperluan kegiatan Jam’iyah NU, yang mana dapat dilihat dari usia NU yang sudah ada sejak Indonesia merdeka kemudian struktur kepengurusan yang terbentuk dari tingkat Pusat (PB), Wilayah (PW) Cabang (PC), Kecamatan (MWC), Desa (Ranting) dan tingkat Dukuh/ RW (Anak Ranting) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang disana tentu terdapat aset aset penunjang kegiatan misalnya bangunan Kantor organisasi, Madrasah, Pondok Pesantren, Masjid maupun unit unit usaha maka dapat dibayangkan berapa banyak aset penunjang yang dimiki oleh Jam’iyah NU. Tertib administrasi dan Sertifikasi aset sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat banyaknya problem yang muncul di berbagai daerah yang menyangkut status aset aset tersebut, dengan tertib administrasi dan Sertifikasi aset maka secara yuridis terdapat kepastian yang dapat meminimalisir konflik hukum antara Jam’iyah NU dengan pihak lain baik bersifat perorangan maupun badan hukum lain.

Problem yang sering ditemui oleh Jam’iyah NU pada umumnya adalah menyangkut pemanfaatan dan penguasaan atas aset aset baik yang berupa tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya karena dapat dimaklumi jika dahulu Jam’iyah NU sering tidak tertib didalam melakukan managemen pengelolaan aset yang berbasis tertib administratif dan sertifikasi aset dimaksud, sering kita jumpai aset aset tersebut tidak tersertifikasi atas nama Badan Hukum NU padahal diketahui aset aset tersebut secara berturut turut puluhan tahun dikuasi dan dimanfaatkan oleh Jam’iyah NU, lebih dari itu jika aset tersebut dahulu berupa Waqaf baik dari Waqif perorangan maupun dari Waqif badan hukum atau dari pemerintah yang dalam subtansi waqaf adalah untuk Jam’iyah NU namun kenyataannya apa yang tertuang dalam Ikar Waqaf maupun alas hak perolehan tidak secara spesifik menyebutkan untuk Badan Hukum NU namun sering ditulis secara general misalnya hanya ditulis untuk keperluan pendidikan dan dakwah Islam begitu saja, sehingga dikemudian hari menjadi depatable yang multi tafsir yang sangat berpotensi muncul permasalahan dikemudian hari. Demikian jika perolehan aset dari Waqaf maka banyak ditemui jika yang bertindak selaku Nadhir (pelaksana) adalah perorangan bukan Nahdir badan Hukum NU, maka hal hal ini yang menjadi salah satu akar problem dan atau perkara yang sering kita jumpai dalam Jam’iyah NU seluruh Indonesia.

Progres tertib administrasi dan Sertifikasi aset aset Jam’iyah NU mendesak sekali untuk dilakukan secara massif agar energi internal NU tidak terkuras untuk menghadapi konflik pengelolaan dan pemanfaatan aset aset dengan pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum/ ormas lain.

Pensertifikatan aset aset NU seyogyanya tetap menggunakan nama Badan Hukum NU baik yang berasal dari jual beli, lelang, hibah maupun Waqaf agar jelas dan pasti kepemilikan dan legal standing yang tentu jauh lebih terhindar dari perkara dikemudian hari.

Untuk badan hukum seperti halnya Jam’iyah NU maka sertifikasi tanah wakaf atas nama badan hukum sangat penting untuk dilakukan yang bertujuan agar tanah wakaf tersebut tidak bisa diagunkan dan memiliki perlindungan lebih kuat karena sertifikat wakaf setara memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi daripada ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf. Karena itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mendorong nazhir dan masyarakat untuk proaktif mensertifikatkan tanah wakaf ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Poses pendaftaran sertifikasi tanah wakaf bisa dilakukan setelah terjadinya ikrar wakaf di hadapan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), selanjutnya Kepala KUA akan meminta sertifikat tanah dari wakif dan menerbitkan akta ikrar wakaf (AIW). Bahwa, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf, maka disebutkan jika proses pensertifikatan tanah wakaf adalah sebagai berikut :
1. PPAIW atas nama Nazhir menyampaikan AIW atau APAIW dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran Tanah Wakaf atas nama Nazhir kepada Kantor Pertanahan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan AIW atau APAIW. (pasal 2 ayat 2)
2. Pemohon mengajukan permohonan kepada kantor BPN setempat dengan melampirkan:
1. Asurat Permohonan
2. Durat Ukur
3. Sertipikat Hak Milik yang bersangkutan atau bukti kepemilikan yang sah
4. AIW atau APAIW
5. Surat Pengesahan Nazhir yang bersangkutan dari KUA dan
6. Surat Pernyataan dari Nazhir bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sita, dan tidak dijaminkan.
3. Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Tanah Wakaf atas nama Nazhir dan mencatat dalam Buku Tanah dan sertifikat Hak atas Tanah pada kolom yang telah disediakan.

Hal hal itulah tehnis persyaratan dan tahapan dalam proses sertifikasi tanah wakaf untuk mendapatkan sertipikat tanah wakaf di kantor BPN, hal lain terkait dengan pensertifikatan tanah Waqaf lebih rinci bisa dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment