Dalam terminologi yang lazim para ahli hukum pidana mainstream tentu mengkualifikasikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik yang berarti hukum sebagai pengatur hubungan antara negara dan perseorangan untuk kepentingan umum, karena dapat dilihat memang pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dengan eksistensi badan negara, dengan kedudukan yang demikian maka negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan dan dapat bertindak reaktif dengan dalil berdasarkan hukum.

Dengan pengertian untuk melindungi kepentingan umum maka dalam hukum pidana menerapkan sanksi istimewa dengan sifatnya yang lebih keras karena adanya bentuk perampasan kemerdekaan yang berupa kurungan atau pemenjaraan mulai dengan hukuman ringan, sedang, berat, seumur hidup bahkan hukuman mati, selain itu ada juga yang berupa hukuman denda maupun penyitaan harta benda, dari sini dapat dipahami jika sangsi dalam hukum pidana bersifat mandiri bahkan dapat dimaknai sebagai bentuk pemaksaan sebagai manifestasi untuk menjaga agar dapat dituruti atau dilaksanakannya sebuah peraturan hukum karenanya penerapan sangsi pidana tentu dapat menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tingkat keberadabannya, misalnya karena adanya konsensi tentang Hak Asasi Manusia maka kemudian bentuk bentuk hukuman juga mulai disesuaikan dengan model metodologi HAM tersebut.

Dengan dalil yang berorientasi pada kepentingan publik maka meskipun pihak yang dirugikan karena insiden perampasan atau pemerasan misalnya korban tidak melapor kepada polisi, akan tetapi polisi tetap berkewajiban untuk menyidik dan memeriksa perkara tersebut dan penuntut umum wajib menuntut perkara tersebut untuk diadili di muka pengadilan, namun demikian dalam hukum pidana ada yang diluar kewenangan negara yanh disebut sebagai sebuah pengecualian yang berupa delik-delik aduan (klacht-delicht) karena memerlukan adanya suatu pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar negara dapat menerapkannya, bertolak dari sini maka dapat diketahui jika dalam hukum pidana terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar apakah suatu bidang hukum itu merupakan hukum publik dan hukum privat yang dapat dilihat dari kepentingan apa yang harus dilindungi, jika itu menyangkut perlindungan hukum untuk umum maka disebut publik, namun apabila substansi perlindungan lebih berorientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan, maka disebut sebagai hukum privat, dari dua kepentingan hukum tersebut maka akan dapat dilihat kedudukan para pihak di mata negara selaku pemangku hukum, jika pihak-pihak yang berperkara dihadapan hukum negara memiliki kedudukan yang sejajar dan bersifat individual maka dikualifikasikan sebagai hukum privat, namun apabila para pihak yang berperkara itu tidak dalam kedudukan yang sejajar, dalam arti satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lain, maka hal demikian disebut sebagai hukum publik.

Dalam terminologi teori pidana dalam perspektif untuk perlindungan bagi kepentingan umum maka negara melalui alat kekuasaannya yaitu Penyidik Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum yang dianggap sebagai representasi negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan terdakwa di pengadilan, namun apabila pihak dengan pokok perkara dalam kualifikasi delik-delik aduan (klacht-delicht) maka tentu saja ada dimensi hukum privat didalamnya, dalam konteks ini maka hukum pidana merupakan hukum publik yang berdimensi privat.

Dimensi privat ini berkaitan dengan diakuinya hukum adat, hukum kebiasaan maupun hukum agama yang merupakan ciri dari pada bangsa indonesia yang memungkinkan dapat diterapkan guna tercapainya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan, misalnya diterapkan mekanisme mediasi -tabayun – islah dengan cara musyawarah kekeluargaan yaitu dengan mempertemukan antara pelaku dan korban guna menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi.

Dalam terminologi teori pidana positivistik maka penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dianggap tidak relevan karena bertolak dari pengertian jika penyidik kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum yang berhak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara pidana selanjutnya hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang, sehingga perdamaian antara pelaku dan korban tidak dikenal dalam hukum pidana karena ia merupakan bagian dari hukum publik dan dalam praktiknya sering ditemui jika perdamaian diantara para pihak hanya berlaku sebagai hal yang meringankan dalam persidangan yurisdiksi pidana.

Meruntut pada perkembangan zaman dengan pola tingkat keberadaban maka di berbagai negara penyelesaian diluar persidangan mulai diterapkan mekanisme mediasi – islah – rekonsiliasi dalam proses peradilan pidana yang lebih berorientasi pada tercapaianya keadilan melalui perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa pidana berlangsung yang kemudian dikenal dengan model keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).

Metode penyelesaian perkara pidana diluar persidangan adalah dengan menggunakan metode pendekatan hubungan pelaku – korban (doer victims relationship) yaitu pembaharuan dari model pendekatan perbuatan atau pelaku (daad dader straftecht). Dalam metode ini maka mengubah pola dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku, namun adalah pola untuk melakukan ‘healing justice” yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment