Adipati Jayengrana yang berhasil diracuni, dan saat tak berdaya dihabisi beramai-ramai oleh kaki tangan Kompeni Belanda. Adipati Sawunggaling lebih sulit dibunuh. Sejak berangkat dan tiba di Kraton Kartasura, Adipati Surabaya tersebut sudah menyiapkan kewaspadaan tinggi. Ia tahu, ayahnya terbunuh karena dicurangi. Dicekoki anggur bercampur racun arsenik.

Sebelum meregang nyawa, Sawungsari (Kakak Sawunggaling lain ibu) yang turut menjadi korban dalam tragedi tersebut, menceritakan semuanya. Dalam keadaan setengah sekarat, Jayengrana dikeroyok. Tubuhnya dihujami berbagai senjata tajam hingga tewas. Peristiwa berdarah itu berlangsung Juli 1718. Karenanya, saat menerima uluran sloki berisi anggur dari Van Hoogendorf, petinggi VOC untuk wilayah Jawa bagian Timur, Sawunggaling tidak buru-buru meneguknya.

Baca: Raden Trunojoyo, Bangsawan Madura yang Menggempur Habis Mataram dan Belanda

Cerita itu kembali melintasi benaknya. Di tangannya. Sloki berisi anggur itu, hanya ia goyang-goyang. “Para hadirin sekalian. Mari kita minum bersama demi kesuksesan hidup Adipati Sawunggaling,” ucap Van Hoogendorf seperti diceritakan Febricus Indri dalam kisah “Sawunggaling Sebuah Legenda Surabaya”. Di tangan orang-orang di dalam Kraton Kartasura. Semua sloki berisi minuman keras diangkat tinggi-tinggi sekaligus berseru : “Hidup Adipati Sawunggaling. Semoga sukses dan panjang umur”.

Saat itu bulan Januari 1719. Pesta yang digelar di Kraton Kartasura hanyalah akal-akalan Kompeni Belanda. Melalui Susuhunan Pakubuwono I, Van Hoogendorf meminta Raja Kartasura tersebut mengundang Sawunggaling untuk datang. Itu setelah Cakraningrat III, penguasa Bangkalan Madura yang dianggap pemberontak, berhasil ditaklukkan. Kompeni Belanda berkepentingan menghabisi Sawunggaling dengan mengulangi cara licik.

Dendam Van Hoogendorf sulit padam. Sejak masa Adipati Jayengrana, penguasa Kadipaten Surabaya tersebut diketahui diam-diam bersimpati dengan gerakan Untung Surapati. Perintah Kompeni melalui Raja Pakubuwono I membasmi gerakan Surapati beserta keturunannya, tidak pernah serius dilakukan. Sikap membangkang itu dilanjutkan Adipati Sawunggaling, putra bungsu Jayengrana. Kemarahan Hoogebdrof semakin berlipat setelah tahu Benteng Providencia atau Benteng Miring juga dikuasai Sawunggaling.

Baca: Raden Said Memilih Jalan Jadi Perampok Orang-Orang Kaya

Sawunggaling lahir dari rahim Rara Blengoh. Seorang perempuan, anak Kepala Desa Lidah Wetan (Sekarang Kecamatan Lakarsantri) yang bernama Wangsadrana. Setelah dinikahi Jayengrana yang berstatus duda lima anak, Rara Blengoh menyandang gelar Raden Ayu Sangkrah. Sejak lahir Sawunggaling dikenal bernama Jaka Berek. Ia tumbuh bersama ibu dan kakeknya di Desa Lidah Wetan dengan status ayah yang dirahasiakan.

Sejak kecil, Berek yang banyak belajar kanuragan dan dianggap memiliki kelebihan, gemar menyabung ayam dan tak pernah kalah. Ia memiara seekor ayam jago andalan yang diberi nama Galing. Saat mulai tumbuh dewasa dan akhirnya berhasil menemui ayahnya di Kadipaten Surabaya, nama Jaka Berek diubah menjadi Sawunggaling. Sebagai putra Adipati Surabaya yang masyhur, Sawunggaling lebih bisa membawa diri dibanding lima kakak tirinya. Nasib baik juga senantiasa berpihak kepadanya.

Sawunggaling berhasil memenangkan sebuah sayembara dengan hadiah diambil menantu Raja Pakubuwono I. Saat Adipati Jayengrana mangkat karena dibunuh secara licik oleh Kompeni Belanda, ia juga yang ditunjuk menggantikan jabatan Adipati Surabaya. Begitu juga saat di pesta yang disiapkan Kompeni Belanda untuk menghabisinya. Di ruangan komplek Kraton Kartasura. Sawunggaling hadir bersama Arya Suradireja, tangan kanannya.

Pandangannya mengitari isi ruangan. Namun tidak terlihat satupun petinggi Kraton Kartasura yang hadir. Pakubowono I yang sekaligus mertuanya juga tidak terlihat. Van Hoogendorf beralasan raja berhalangan hadir karena sedang tidak enak badan. Justru yang banyak terlihat para petinggi Kompeni. Termasuk Kapitan Komisaris Pieter Speelman, juga hadir. Kemenakan Gubernur Jendral Belanda Cornelis Speelman tersebut, ditunjuk sebagai wakil Kompeni dari Batavia.

Baca: Sultan Agung Mengislamkan Penanggalan Jawa, Tepat 1 Suro dan 1 Muharram

Saat membaui sloki anggur di tangannya. Sawunggaling mencium aroma ganjil yang menyengat. Sawunggaling seketika meradang. Van Hoogendorf dihardiknya dengan suara menggelegar. “Van Hoogendorf, kurang ajar, kamu licik!. Bila engkau benar-benar laki-laki minumlah sloki ini!, ” hardik Sawunggaling seperti dikisahkan Febricus Indri. Wajah Hoogendorf mendadak pucat. Ia tidak menyangka rencana liciknya terbongkar.

Sloki berisi minuman keras di tangan Sawunggaling memang sudah ia campuri racun arsenik. Racun dengan kadar paling tinggi. Bahkan hanya mencicipi saja, akibatnya bisa fatal. Suasana di ruangan sontak hening. Tidak ada lagi orang bernyanyi-nyanyi. Semuanya terdiam. Hoogendorf tiba-tiba lari ke dalam ruangan lain, dan saat kembali tangannya mengacungkan pistol ke arah Sawunggaling. Sawunggaling tidak gentar.

Adipati Surabaya itu mencabut sebilah keris. Pada saat itulah pistol di tangan Hoogendorf menyalak. Timah panas melesat arah dada Sawunggaling. Namun tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat melindunginya. Bayangan itu adalah Van Jannsen, perwira Kompeni Belanda. Jannsen adalah sahabat Sawunggaling karena hidupnya pernah diselamatkan (Sawunggaling). Jannsen tewas seketika dengan peluru merobek jantungnya.

Sawunggaling selamat. Dengan amarah, keris ditangannya meliuk cepat menikam dada Hoogendorf. Kompeni Belanda penyebab kematian Jayengrono tersebut ambruk, dan tewas seketika. Para prajurit Kompeni masih tertegun dengan insiden yang terjadi. Sebelum semuanya tersadar sepenuhnya, Arya Suradireja langsung mengajak Sawunggaling meninggalkan lokasi. Sementara melihat dua perwiranya tewas, Kapitan Komisaris Pieter Speelman murka.

Dipimpin Letnan Herman De Wilde, wakil Peiter Speelman, pengejaran langsung dilakukan. “Tidak tanggung-tanggung, 200 pasukan berkuda Kompeni tergabung dalam pengejar,” tulis Fabricus Indri. Sawunggaling dan Arya Suradireja berhasil keluar dari Kartasura. Di wilayah Sragen, mereka sengaja menerobos kawasan hutan. Di hutan itu Sawunggaling sempat berkontak dengan Gerombolan Gagak Mataram. Yakni sekelompok bandit sosial pimpinan Gagak Lodra yang pernah berhutang nyawa dengan Sawunggaling.

Di hutan Sragen itu pasukan Kompeni yang berusaha menyusul, dihancurkan. Kabar kematian dua petinggi Kompeni Belanda di Kartasura, menggemparkan dan dengan cepat tersebar hingga ke Batavia. Kabar tersebut sampai ke telinga Gubernur Jendral Belanda Hendrick Zwaardeckroon. Ultimatum langsung dikeluarkan : Tangkap Adipati Sawunggaling hidup atau mati. Penyerangan ke Surabaya dipimpin Kapitan Komisaris Pieter Speelman sekaligus pengganti Hoogendorf.

Sebanyak 5.000 orang pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi dikerahkan. Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pada tanggal 10 Februari 1723. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan.

Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, dibuat kocar-kacir saat harus menghadapi serangan gerilya dari rumah ke rumah. Kapitan Pieter Speelman yang marah, turun langsung memimpin peperangan. Tiga kapal perang diberangkatkan untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Perintahnya ke setiap pimpinan pasukan adalah tidak ada tawanan perang. Artinya semua termasuk Adipati Sawunggaling dihabisi.

Baca: Troya dan Bubat, Dua Perang di Masa Kerajaan Hanya karena Perempuan

Perang berlangsung sengit. Karena kalah jumlah pasukan serta persenjataan, laskar Sawunggaling terdesak. Saat itu awal Maret 1723. Kondisi yang ada diperparah dengan ditariknya bantuan pasukan dari orang-orang Bali yang sebelumnya berada di Pasuruan dan Probolinggo. Penarikan pasukan dikarenakan di Bali juga sedang terjadi peperangan. Sawunggaling bersama istri dan putranya, Arya Bagus Narendra yang masih berusia balita mengungsi ke dalam Benteng Providencia.

Kadipaten Surabaya dikosongkan. Agar tidak dipakai pasukan Kompeni Belanda. Saat meninggalkan kota, seluruh rumah-rumah yang ada lebih dulu dibakari. Termasuk kediaman Sawunggaling juga tidak luput dihanguskan. “Asap hitam mengepul di mana-mana. Surabaya menjadi karang abang (lautan api),” tulis Febricus Indri. Tanggal 8 Maret 1723. Pasukan Kompeni masuk Surabaya melalui Sidoarjo. Saat yang sama, pasukan Kompeni lain yang datang dari arah Kadipaten Gresik dan Gunungsari juga masuk Surabaya.

Mereka merangsek ke arah benteng Providencia, tempat pertahanan terakhir Sawunggaling. Di dalam benteng masih ada 800 orang pejuang laskar Sawunggaling yang siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Perang yang tidak seimbang tersebut berlangsung sengit. Pasukan Kompeni berhasil merangsek masuk sekaligus menewaskan Arya Suradireja. Dengan sisa pasukan yang ada, Sawunggaling terus melawan. Pistol di tangan kanannya tidak henti-henti menyalak.

Begitu juga dengan pedang di tangan kirinya tidak berhenti mengayun. Perlawanan Sawunggaling berakhir setelah peluru menembus lehernya dan bayonet dari segala arah menikami tubuhnya. Adipati Surabaya tersebut ambruk dengan bersimbah darah, dan gugur. Namun sebelum ajal menjemput, konon Adipati Sawunggaling sempat melontarkan sumpah kutukan kepada Kompeni Belanda.

Bahwa saat ini dirinya memang kalah dalam jumlah pasukan dan persenjataan. “Namun kelak bila saatnya tiba, bila ada petarung-petarung berbadan pendek (katai), berkulit kuning, berasal dari arah timur laut dan jumlahnya berlaksa-laksa, saat itulah akan datang kembali dan membalas perbuatan kalian”.

Bagikan:

Leave a Comment