Juli merupakan bulan istimewa bagi Kepolisian RI atau Polri. Sebab, setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara, untuk menandakan terbentuknya kesatuan itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946.

Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Juli menyimpan duka bagi Korps Bhayangkara.

Pada 14 Juli 2004, Indonesia melepas putra terbaik bangsa dengan tutup usianya Kapolri kelima RI, Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso.

Jenderal Hoegeng mengembuskan napas terakhir pada usia 83 tahun.

Hoegeng meninggal dunia setelah berjuang melawan stroke yang sudah lama dideritanya. Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur menjadi tempat polisi yang dikenal jujur dan sederhana itu menutup mata.

Sosok Polisi penuh integritas

Jenderal Hoegeng merupakan sosok yang dikenal karena integritasnya. Karakternya yang tegas dan teguh menjaga kehormatan ini juga terukir berkat guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Gus Dur mengatakan, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.

Baca: Lukas Kustaryo, Pejuang Kemerdekaan yang Kepalanya Dihargai 10 Gulden

Baru-baru ini, guyonan Gus Dur itu kembali ramai dibicarakan setelah ada netizen yang sempat diperiksa polisi karena menulis pernyataan Gus Dur itu di akun media sosialnya.

Mengutip Harian Kompas, Gus Dur saat itu sedang menyinggung upaya pemberantasan korupsi pasca-Reformasi 1998. Apalagi, Polri menjadi salah satu institusi yang diharapkan segera berbenah untuk menghadirkan citra yang lebih baik di masyarakat.

Lalu seperti apa sosok Hoegeng hingga begitu membekas dalam benak seorang Gus Dur?

Sepenggal kisah kejujuran Hoegeng ditulis dengan baik oleh sejarawan Asvi Warman Adam di Harian Kompas pada 1 Juli 2004, tepat saat Hari Bhayangkara.

Asvi menulis, integritas Hoegeng didapat sebagai bentuk penghormatan untuk sang ayah, yaitu Sukario Hatmodjo, kepala kejaksaan di Pekalongan.

Hoegeng yang memiliki nama lahir Iman Santoso ini mengagumi sang ayah yang bersama dua rekannya menjadi trio penegak hukum di kota itu. Dua orang lainnya adalah kepala polisi Ating Natadikusumah dan ketua pengadilan Soeprapto.

Secara khusus, Hoegeng kecil, yang kerap dipanggil bugel (gemuk), dan lama-kelamaan berubah menjadi “bugeng” hingga menjadi “hugeng”, mengagumi Ating yang gagah dan suka menolong orang. Kekaguman itu membawa Hoegeng menjadi polisi.

Setelah lulus PTIK pada 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur. Namun, integritasnya diuji saat menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara. Saat itu Hoegeng menolak rumah pribadi dan mobil yang disediakan cukong judi.

Baca: Frans Kaisiepo, Tokoh Pejuang yang Berhasil Satukan Papua ke Pangkuan Indonesia

Hoegeng memilih tinggal di hotel hingga kemudian dia mendapat rumah dinas. Setelah mendapat rumah dinas, dia juga menolak rumah itu diisi dengan segala macam perabot pemberian orang, yang dianggapnya sebagai bentuk suap.

Saat pemberi perabot itu tidak mau menerima pengembalian barang itu, Hoegeng tetap mengeluarkannya dari rumah dinas dan menaruhnya di pinggir jalan.

Usai bertugas di Medan, dia ditempatkan di Jakarta. Untuk sementara, perwira polisi itu bahkan rela tinggal di garasi rumah mertuanya di Menteng.

Dicopot Soeharto

Berbagai jabatan kemudian dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya dia dipercaya sebagai Kapolri periode 1968 – 1971, di masa-masa awal Pemerintahan Presiden Soeharto.

Menurut Asvi dalam tulisannya, sejumlah kasus besar terjadi di masa kepemimpinannya.

Kasus yang menarik perhatian publik antara lain pemerkosaan Sum Kuning yang diduga melibatkan anak pejabat, penyelundup Robby Tjahyadi yang di-backing pejabat, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh taruna Akpol.

Hoegeng digambarkan begitu bersikeras untuk menuntaskan kasus-kasus itu. Namun, dalam tulisan Asvi Warman Adam, keuletan itu membuat dia kemudian diberhentikan oleh Soeharto sebagai Kapolri.

Baca: Demang Lehman, Pahlawan Tanpa Kepala Panglima Perang Banjar

Dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013) yang ditulis Suhartono, bahkan disebutkan bahwa Hoegeng sempat ingin melapor kepada Presiden Soeharto terkait penangkapan Robby Tjahyadi.

Namun, alangkah kagetnya Hoegeng saat melihat orang yang akan ditangkap itu sudah lebih dulu berada di Jalan Cendana, kediaman Soeharto. “Dengan segala pertimbangan, saya akhirnya balik badan dan tidak jadi melapor ke Presiden,” tutur Hoegeng.

Soeharto mengganti Hoegeng dengan alasan butuh penyegaran di tubuh kepolisian. Akan tetapi, fakta yang terjadi adalah Jenderal Polisi Mohamad Hasan yang ditunjuk Soeharto sebagai Kapolri saat itu berusia 53 tahun, ketika Hoegeng masih berusia 49 tahun.

Meski tidak memiliki jabatan, Hoegeng tetap menjadi figur yang dihormati masyarakat. Dia juga kritis terhadap pemerintahan, terutama saat tergabung dalam kelompok Petisi 50.

Bagikan:

Leave a Comment