Lensa Budaya ~ Tsunami menerpa Selat Sunda, termasuk kawasan Anyer, Sabtu (22/12/2018), pukul 21.27 WIB. Lebih dari 200 jiwa dan hampir seribu orang luka-luka. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan pemicunya bukan gempa bumi tektonik, tapi diduga paduan cuaca ekstrem dan letusan Gunung Anak Krakatau.
Anyer di Banten, punya sejarah pilu ihwal tsunami terkait letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883. Bahkan, 14 tahun sebelumnya, pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito, telah menulis dalam Kitab Raja Purwa bahwa pada tahun Saka 338 (416 Masehi), Krakatau, yang ditulis sebagai Gunung Kapi pernah meletus dengan maha-dahsyat.
“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api Gunung Kapi, melainkan semakin mengobarkannya; suaranya mengerikan; akhirnya Gunung Kapi dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi,” tulis sang Pujangga dalam kitab yang salinannya tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Menghilangnya Krakatau Purba itu menyisakan pulau-pulai kecil dan secepatnya disusul oleh gelombang laut yang tinggi. Tsunami menghantam pesisir Lampung dan Jawa Barat.
“Pulau Sertung, Panjang, dan Rakata terbentuk dari hasil letusan dahsyat Karakatau Purba yang terjadi sekitar awal abad V atau VI,” kata ahli vulkanologi dari ITB, Dr Eng Mirzam Abdurrachman.
Namun penelitian selanjutnya tidak mencatat adanya bukti-bukti geologi yang cukup akan adanya letusan besar pada tahun 416. Sebaliknya, sekitar tahun 535-536, terjadi perubahan iklim yang ekstrem. Beberapa tumbuhan mengalami pertumbuhan yang lambat, penemuan kandungan sulfur yang tinggi pada bagian inti dari es di Islandia atau antartika, musim panas yang bersalju pada bumi belahan utara sehingga masa itu dikenang sebagai Volcanic Winter, serta adanya beberapa peradaban yang berakhir di sekitar waktu tersebut.
Laporan konsul Inggris di Batavia Alexander Patrick CameronLaporan konsul Inggris di Batavia Alexander Patrick Cameron (Foto: Screenshoot buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883)
“Jadi, apakah 416 atau 535? Sekarang banyak peneliti sedang mendalami dan mencari bukti guna mendapatkan jawaban yang lebih akurat. Kapan pun itu, kita patut bersyukur karena letusan pada 416 atau 535 jauh lebih dahsyat dari letusan 135 tahun yang lalu atau tepatnya 26-27 Agustus 1883,” ungkap Mirzam, seperti dikutip dari itb.ac.id, 31 Agustus 2018.
Kembali ke letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883, sejumlah pelaut dari Inggris dan Belanda menganalogikannya sebagai kiamat. Sebab, tak cuma kawasan Banten dan sejumlah daerah di Sumatera yang gelap gulita, tapi juga hingga ke Batavia (Jakarta).
“Ini saya tulis dalam keadaan gelap total. Kami tak henti-hentinya dihujani batu apung dan debu. Ledakan-ledakan begitu dahsyat sehingga telinga lebih dari separuh kru saya tercabik-cabik. Yang saya pikirkan hanya istri saya. Saya yakin Hari Pengadilan Terakhir telah tiba,” Kapten Sampson dari kapal Inggris Norham Castle bersaksi.
Catatan itu dikutip Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 terbitan Serambi, 2006. Selain Kapten Sampson, dalam buku itu, Winchester mengutip surat dari konsul Inggris di Batavia, Alexander Patrick Cameron, kepada atasannya di London.
Dalam laporan yang ditulis dalam huruf Latin dan kalimat yang amat santun, khas diplomat, tergambar kerusakan yang ditimbulkan akibat letusan Krakatau kala itu.
“…seluruh pantai tenggara Sumatera mengalami kerusakan sangat parah akibat gelombang laut, dan ribuan penduduk pribumi yang menghuni desa-desa di pantai pasti telah lenyap. Pantai barat Jawa dari Merak sampai Tjeringin (Caringin, red.) telah menjadi rata dengan tanah,” tulis Cameron dalam laporan bertanggal 1 September 1883.
“Anyer, bandar di mana kapal-kapal dengan tujuan laut Jawa dan laut Cina berhenti untuk menunggu perintah, dan yang merupakan kota yang ramai dengan penduduk (pribumi) beberapa ribu orang, telah lenyap, dan lokasinya telah berubah menjadi rawa.”
Kisah soal dahsyatnya letusan Krakatau dan tsunami yang dipicu kemudian juga masih dikenang sejumlah warga Banten. Mereka mendapatkannya dari cerita-cerita para orang tua, semacam legenda yang tersebar secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Sabtu malam kemarin, mereka tak cuma mengenang tapi merasakan langsung dan sebagian turut menjadi korban, meski letusan anak Krakatau tak sedahsyat induknya lebih dari satu abad silam.
Leave a Comment