Jika Ambarawa punya museum kereta api, harusnya Salatiga punya museum bis. Kenapa?? Karena Salatiga punya perusahaan bis yang berumur sangat tua yaitu sekitar satu abad. Namanya ESTO.
ESTO adalah singkatan dari bahasa Belanda: Eerste Salatigasche Transport Onderneming. Artinya perusahaan angkutan (sewaan) pertama di Salatiga. Pemiliknya adalah Kwa Tjwan Ing, seorang warga keturunan.
Tidak banyak perusahaan otobus di Tanah Air yang bisa hidup sampai satu abad. Melewati berbagai zaman yang berubah-ubah, dari jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang hingga masa republik.
Dari Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi, yang punya menteri perhubungan sendiri-sendiri dengan kebijakan tarif angkutan umum yg berganti-ganti. Melewati krisis yang berkali-kali, dari resesi global tahun 1930, krisis moneter 1998 hingga krisis Corona tahun 2020.
ESTO tetap hidup walau dengan nafas yg sudah tersengal sengal. Kini bus yang jalan pun tinggal dua unit, itu pun kadang rusak rusak. Mungkin hanya tekad dan semangat keluarga Kwa Tjwan Ing saja yang membuat ESTO masih ada.
Dirintis tahun 1920
Usaha ini dirintis sejak 1920. Pada tahun itu, Koh Ing nekad membeli beberapa mobil kecil dari Semarang untuk dioperasikan di Soloscheweg. Saat itu Koh Ing sebenarnya telah memiliki beberapa armada truk. Tapi Koh Ing pingin menjajal angkutan penumpang.
Dua armada truk Koh Ing selama ini telah difungsikan untuk mengangkut sayur mayur dari Salatiga ke Semarang. Hasil bumi ini harus diantar cepat ke Semarang, kalau tidak akan rusak. Dengan bus “kodok hijau” ESTO mulai mengangkut penumpang pada 1921.
Dua tahun kemudian, pada 1923, Koh Ing membeli lagi beberapa bus kecil. Bus-bus kecil itu hanya melayani jalur Salatiga-Tuntang & Salatiga-Bringin. Saat itu telepon baru saja masuk ke Salatiga. Nama bisnya belum ESTO, tapi cuma dikasih tanda nomor 42. Nomor 42 itu adalah nomor telepon perusahaan Koh Ing.
Nama ESTO baru mulai dipakai kemudian.
Generasi pertama bus 42 hanya dapat menampung 16-18 orang saja.Tempat duduknya dibagi menjadi 2 bagian. Bagian depan memiliki jok empuk dan menghadap ke depan. Ini untuk orang-orang Belanda.
Bagian belakang kursinya atos, untuk melayani orang-orang pribumi. Tentu saja bukan orang pribumi sembarangan, tetapi kaum priyayi/bangsawan. Di awal usahanya armada milik Koh Ing memakai ban mati dengan daya angkut sangat terbatas. Maka tidak heran jika melewati tanjakan terjal, armada harus “ancang-ancang” mundur dulu. Kalau tidak pakai ancang ancang mundur, bis tidak kuat nanjak.
Sempat jaya
Pada tahun 1930, ESTO berganti kepemilikan. Dari Kwa Tjwan Ing berganti ke anaknya Kwa Hong Po alias Winata Budi Dharma. Pada masa itu ESTO berkembang pesat hingga melayani rute Sragen, Purworejo, Kutoarjo, Kendal, Kudus dan Pati.
Tapi sayang, pada dekade 1930 dunia tiba-tiba dilanda resesi ekonomi (the great depresion). Banyak perusahaan gulung tikar, tak terkecuali ESTO. Perusahaan ini mulai kesulitan keuangan.
Sebagian armadanya bahkan sempat diambil-alih oleh BPM Shell karena ESTO memiliki hutang solar banyak. BPM Shell kira-kira adalah Pertaminanya zaman itu. Sebagian lainnya diambil alih oleh perusahaan bus NV ADAM.
NV ADAM adalah pesaing ESTO, tapi dia melayani rute jauh yaitu Solo-Semarang. Perusahaan ini ambruk tahun 1942. Selain NV ADAM, ada juga pesaing bus PICCOLO dan bus SALAM (Salatigasche Autobus Maaschappij). Tapi dua pesaing rute pendek ini juga bangkrut pada tahun yang sama.
Karena armadanya tinggal sedikit, ESTO kemudian hanya melayani rute Bringin, Suruh, Ambarawa dan Tuntang saja. Pada tahun 1938 ESTO ganti kepemilikan lagi dari Budi Dharma ke saudaranya yaitu Kwa Hong Biauw.
Dibawah kendali Hong Biauw, ESTO sedikit demi sedikit merangkak naik lagi. Hutang perusahaan mulai menyusut, membuat kondisi ESTO membaik hingga tahun 1940-an.
Tapi menjelang Jepang masuk ke Indonesia, sebagian armada ESTO diambil-alih Belanda untuk perang melawan Jepang.
Sebagai kompensasinya, ESTO diberi “Surat Sakti” oleh Belanda. Surat sakti itu intinya setelah perang berakhir, ESTO berhak membeli armada baru dengan harga murah. Tapi janji tinggal janji.
Fokus Ambarawa-Suruh
Pada 1990 ESTO sempat merajai jalur Suruh, Salatiga, Ambarawa karena tidak ada pesaing. Jalur Salatiga-Kedung Jati pun pernah dikuasai.
“Waktu krisis moneter 1997, perusahaan sebenarnya masih bagus karena setoran mencukupi. Kami pernah dijadikan contoh karena perusahaan memerhatikan karyawan,” kata Slamet, seorang mantan karyawan senior.
Selain mendapat komisi harian, jelasnya, karyawan juga mendapat gaji tetap plus Jamsostek. Awal tahun 90-an, ditengah gencarnya serangan armada baru Mercedes Benz OH 1113, bus tua ESTO berwarna hijau daun masih tetap melaju di jalan raya.
Tapi semakin hari, bis bis ESTO semakin dimakan usia. Lantainya pada karatan, asapnya hitam gara-gara sering telat ganti oli. Parahnya lagi kadang-kadang didalamnya ada tikus atau kecoaknya, karena sering dongkrok, rusak.
Sampai tahun 2001, ESTO masih memiliki dua armada bus yang bisa jalan. Bis-bis “enggrek-enggrek” ini hanya melayani rute Salatiga-Ambarawa saja. Pemiliknya kini sudah tidak mau mengembangkan perusahaan ini.
Semasa hidup, Sarwoto, seorang mantan sopir ESTO asal Kaliputih Ambarawa pernah bercerita, setoran harian ESTO jurusan Ambarawa-Salatiga itu hanya Rp 50.000 per hari. Tapi kalau bis rusak menjadi tanggung jawab sopir.
“Walau cuma setor Rp 50.000, tapi saya malah banyak nombok karena bisnya dikit-dikit rusak,” katanya.
Bila tidak ada yang menyelamatkan usaha yang sudah berusia satu abad ini, maka ESTO hanya akan tinggal kenangan.
Leave a Comment