Nyi Ageng Serang adalah seorang pahlawan nasional . Dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang dengan nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, Raden Ayu Serang berganti nama menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.

Nyi Ageng Serang dilahirkan sekitar 1752 di Desa Serang, sekitar 40 km utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo. Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang, wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.

Baca: Arung Palakka, Pahlawan Bone yang Dicap Pengkhianat

Setelah ayahnya wafat, Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukannya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, yaitu dengan Hamengku Buwono II dan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber Belanda.

Mengutip “Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX”, Sang Nyai juga memiliki seorang putri yang kelak akan menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1816-1824) setelah Inggris menyerang Kesultanan Yogyakarta.

Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.

Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta pada 1828 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Namun beberapa orang meyakini makamnya di daerah Grobogan yang kini menjadi lokasi Waduk Kedung Ombo, sehingga dibuat makam terapung di waduk tersebut. Salah satu keturunannya adalah seorang pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Baca: Menghianati Mataram, Tumenggung Endranata Dimutilasi Sultan Agung Menjadi 3 Bagian

Sebagai pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Bagaimanapun warga Kulon Progo mendirikan monumen di tengah kota Wates untuk mengenangnya. Monumen tersebut berupa patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.

Perjuangan Nyi Ageng Serang

Pada “Nyi Ageng Serang: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup” dituliskan, pada awal Perang Diponegoro pada 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.

Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.

Semangatnya untuk tampil menjadi panglima perang juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda. Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan pahlawan wanita ini antara lain ialah kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan bagi penganut-penganutnya.

Baca: Cinta Terlarang Amangkurat I dengan Ratu Malang dan Dikurungnya 60 Dayang

Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan yang kuat dan konsekuen. Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang sekaligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putra-putranya.

Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten). Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi markas besar perjuangan Natapraja atau Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti tersebut.

Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda (VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi. Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria.

Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat. Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan.

Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam ha kemahiran berperang.

Baca: Serangan Balasan Kerajaan Sunda ke Majapahit Usai Perang Bubat

Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka mengadakan penyerbuan secara mendada terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar. Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang diserahkan kepada Nyi Ageng Serang bersama putranya laki-laki.

Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian. Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki Nyi Ageng Serang, gugur.

Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan gagah berani. Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti.

Bagikan:

Leave a Comment