Sepucuk surat perintah diterima Letnan Dua Czi Andreas Pierre Tendean tahun 1963 di Medan, Sumatera Utara. Isinya perintah untuk mengikuti pendidikan intelijen di Bogor. Padahal belum setahun perwira muda ini menjabat komandan peleton di batalyon Zeni Kodam II Sumatera Utara. Tapi negara membutuhkannya.

Kondisi saat itu sedang panas. Presiden Soekarno baru saja menggelorakan perlawanan untuk menentang berdirinya negara Malaysia. Soekarno menilai Federasi Malaysia hanya negara boneka inggris dan neo-kolonialisme. Dia khawatir negeri jiran itu akan dijadikan pangkalan militer asing Asia Tenggara.

“Kalau kita lapar itu biasa

Kalau kita malu itu juga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hajar cecunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu…”

Demikian pidato kemarahan Presiden Soekarno saat mendengar lambang Garuda diinjak-injak oleh demonstran anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Hal itu makin membuat situasi panas.

Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora).

“Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia,” teriak Presiden Soekarno.

Para sukarelawan yang sebenarnya pasukan TNI menyusup masuk ke perbatasan Malaysia di Sabah dan Serawak. Berkali-kali mereka terlibat kontak tembak dengan tentara Malaysia yang didukung Inggris dan sekutu.

Baca: Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Setia Sampai Akhir Hayat

Usai mengikuti pendidikan intelijen, Pierre ditugaskan di perbatasan. Selama satu tahun bertugas di garis depan, Pierre berhasil masuk ke daerah lawan sebanyak tiga kali. Aksi Pierre sebagai intelijen tempur layak diacungi jempol. Tak kalah dengan film-film spionase garapan Holywood.

Bahkan pernah dia menyamar sebagai seorang turis dan sempat berbelanja di toko-toko. Maklum sosok Pierre memang kelihatan seperti bule, orang percaya saja dia seorang turis.

Pada waktu menyusup untuk kedua kalinya, dia dapat merampas sebuah teropong dari tentara Inggris. Demikian dikutip dari Dinas Sejarah TNI.

Saat Pierre menerobos untuk ketiga kalinya, di tengah laut dia dikejar oleh sebuah destroyer (kapal perusak) Inggris. Untung dia cepat dapat membelokkan speedboatnya dan diam-diam menyelam ke Iaut.

Dia berenang ke sebuah perahu nelayan. Supaya tidak diketahui oleh yang mengemudikan perahu itu, dengan hati-hati sekali Pierre bergantung di bagian belakang perahu itu dengan seluruh badannya terbenam dalam air.

Setelah musuh memeriksa speedboatnya dan ternyata hanya ada seorang pengemudi yang tidak mencurigakan, maka mereka segera meninggalkan perahu. Pierre selamat dari kejaran musuh.

Dalam buku ‘Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus’, disebutkan Lettu Pierre Tendean menjadi Komandan Basis Y. Wilayah targetnya meliputi Malaka dan Johor.

Salah satu tim yang dipimpin Tendean adalah Tim Pasukan Katak, Satuan elite TNI AL. Tugas mereka menghancurkan obyek vital milik musuh. Di antaranya jaringan pipa air minum Malaysia.

Sejarah mencatat, beberapa kali tim ini berhasil melakukan tugasnya. Aksi mereka terdengar sampai Kuala Lumpur. Namun tak jarang juga jatuh korban di pihak TNI.

Yang mengharukan, Pierre rupanya menabung uang sakunya selama bertugas di perbatasan untuk biaya pernikahan adik bungsu. Uang itu kemudian diberikan pada ibunya dalam bungkusan koran. Jumlahnya cukup banyak karena selama tugas diberi uang dollar kemudian ditukarkan ke rupiah.

“Mam, ini sumbangan saya untuk pernikahan Roosdiana,” kata Pierre.

Aksi Pierre di belantara Kalimantan sampai juga pada jenderal-jenderal di Jakarta. Tiga jenderal ingin menjadikan Pierre sebagai ajudan mereka. Namun akhirnya Nasution yang mendapatkan Pierre. Di sana dia bertugas hingga maut menjemput

Bagikan:

Leave a Comment