Raden Ngabei Ronggowarsito merupakan tokoh terkenal di Indonesia. Dia disebut-sebut sebagai pujangga terakhir Tanah Jawa. Tak ada sosok lain yang menyamai kualitas karya-karyanya setelah itu.
Dilansir dari cintabuku.id, Ronggowarsito disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi kesusastraan konvensional Jawa. Perkenalannya dengan kesustraan Barat mempengaruhi khazanah kesusastraan Jawa yang sebelumnya banyak didominasi karya-karya berbentuk tembang.
Dalam setiap karyanya, Ronggowarsito banyak mengkritik kekuasaan dan menyoroti masalah sosial yang carut marut pada waktu itu. Bahkan tak jarang orang menganggap prosa-prosa Ronggowarsito merupakan ramalan akan suatu kejadian. Lantas seperti apa kisah Ronggowarsito dalam menyusun karya-karyanya?.
Baca: Ketika Ronggowarsito Bicara Letusan Krakatau di Selat Sunda
Pada Oktober 1818, Raja Surakarta Sri Pakubuwono IV mengangkat Ronggowarsito yang saat itu masih bernama Bagus Burhan menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon. Di tengah pengabdian pada keraton itu, dia berguru ke Surabaya dan Bali, yaitu pada Kiai Tunggul Wulung, Kiai Ajar Wirakanta, dan Kiai Ajar Sidalaku.
Pada periode inilah Ronggowarsito mulai menyusun buku pertamanya, “Jayengbaya”. Dalam bukunya ini, dia mengangkat kisah tentang Jayengbaya, seorang pengangguran yang konyol dan selalu berkyahal tentang pekerjaan. Ceritanya disusun dalam bentuk tembang Asmaradana sebanyak 250 bait.
Pada masa pecahnya Perang Diponegoro, Ronggowarsito sudah menjadi seorang guru dan banyak siswanya yang berasal dari negeri asing seperti CF Winter, Jonas Portier, CH Downing, Jansen, dan lainnya. Pada masa ini Ronggowarsito juga bersahabat dengan Sri Mangkunegoro IV, raja sekaligus sastrawan besar yang terkenal berkat karya seperti Serat Wedatama dan Tripama.
Baca: Dimasa Raja Jayabaya, Rakyat Makmur dan Perampok Dihukum Mati!
Selain itu, bersama muridnya CF Winter, Ronggowarsito terlibat dalam pembuatan proyek kitab Paramasatra Jawi. Karena keahlian menulis yang dimilikinya, CF Winter pernah menawarkan Ronggowarsito untuk menjadi guru besar sastra Jawa dengan gaji 1.000 gulden setiap bulan. Tapi tawaran ini ia tolak.
Selain itu, bersama Jonas Portier, Ronggowarsito mendirikan majalan Bramariani (Juru Martani) dan menjadi redaktur di sana. Pada tahun 1845, Ronggowarsito diangkat sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat.
Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Berbagai bidang ia kuasai seperti tasawuf, sosial masyarakat, bahkan ramalan masa depan. Ronggowarsito tidak menulis sendiri karya-karyanya, namun dibantu orang lain.
Baca: Ramalan Jayabaya yang Tidak Meleset
Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang mampu menuangkan suara zamannya melalui serat-serat yang ditulisnya. Jumlah karya-karyanya maupun karya saduran yang ia tulis hingga saat ini belum diketahui.
Namun dalam pameran buku yang diadakan tahun 1953 ditampilkan sebanyak 47 buku karya Ronggowarsito baik karyanya yang berbentuk tembang maupun gancaran.
Leave a Comment