Selain kerajaan Sriwijaya, kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara.

Mulai dari Presiden Sukarno dan M Yamin menjadikan dua kerajaan besar tersebut sebagai pijakan dan landasan bagi negara Indonesia yang modern dan terbentuk pada pertengahan abad ke-20.

Sebagai sebuah kerajaan besar pada abad ke-14 tentu saja Majapahit memiliki kelengkapan dan aparat lengkap dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk menjaga kedaulatan negara dari serangan musuh-musuh, Majapahit memiliki kekuatan militer yang terdiri dari Angkatan Darat (AD) dan Angkatan Laut (AL). Kemudian sistem ekonomi Majapahit ditopang dengan perdagangan sebab Majapahit adalah kerajaan dengan corak maritim.

Dalam kaitannya dengan keamanan dan ketertiban, Kerajaan Majapahit juga memiliki aturan atau undang-undang yang digunakan untuk menegakkan keadilan, menghukum para pelaku kejahatan dan memulihkan ketertiban umum. Kerajaan Majapahit juga sudah memiliki kitab undang-undang yang tidak kalah hebat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kaitannya dengan persoalan perdata, Kerajaan Majapahit juga sudah mengatur hukum perdata bagi warga negaranya.

Slamet Muljana dalam bukunya Tafsir Nagara Kretagama terbitan LKIS tahun 1979 menjelaskan kitab undang-undang yang dijadikan acuan pada zaman Kerajaan Majapahit disebut Kitab Kutara Manawa. Kitab Kutara Manawa sendiri disadur dari kitab-kitab hukum yang berasal dari tanah India semisal Manawadharmasastra.

Kitab undang-undang Majapahit yang disebut Kutara Manawa disebut dalam Kitab Negarakretagama, sebuah kitab yang membahas tuntas Kerajaan Majapahit. Kitab Kutara Manawa terdiri dari 275 pasal. Dalam pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu disebut Kutara Manawa.
“Kitab undang-undang Majapahit disebut Kutara Manawa atau Agama,” tulis Slamet dalam bukunya.
Pakar sejarah alumnus Universitas Louvain, Belgia tahun 1954 melanjutkan, Kitab Kutara Manawa adalah sebuah kitab yang berisikan aturan-aturan mengenai hukum pidanadan juga perdata. Namun antara pidana dan perdata belum ada pemisahan jelas, satu sama lain masih tercampur.

Secara umum beberapa persoalan pelanggaran pidana yang diatur adalah soal pencurian, pembunuhan, perbuatan melukai orang lain dan sebagainya. Bab-bab semisal jual beli, perkawinan, warisan, perceraian, gadai, utang piutang yang semuanya masuk dalam ranah perdata juga sudah dibahas dalam kitab Kutara Manawa. Sedangkan hukuman yang diterapkan berupa hukuman mati, atau hukuman berupa denda yang dibayar dengan uang.

Untuk menjatuhkan vonis mati kepada seseorang juga tidak main-main. Dalam pasal 3 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hukuman mati dijatuhkan kepada seseorang yang membunuh orang tidak berdosa, seseorang atau siapa saja yang menyuruh membunuh orang tidak berdosa dan barangsiapa melukai orang tidak berdosa, maka mereka dijatuhi hukuman mati.
“Hukuman mati ini disebut dengan istilah Pati,” sambung Slamet.

Hukuman mati juga dijatuhkan kepada seorang pencuri yang tertangkap dalam melakukan aksi jahatnya. Sedangkan anak-isterinya serta hartanya diambil alih oleh raja. Jika pencuri itu ingin mengajukan permohonan hidup maka ia harus menebus pembebasannya dengan membayar denda kepada raja dan membayar ganti rugi dua kali lipat kepada orang yang hartanya ia curi.
Susunan Pengadilan

Untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada seseorang, Kerajaan Majapahit juga memiliki hakim yang disebut dharmmadyaksa dan terdiri atas dua orang. Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi, yang memiliki arti orang memiliki atau menguasai negara.

Orang yang bisa duduk sebagai hakim adalah mereka yang memiliki moralitas dan etika mumpuni, sebab tugas hakim adalah mengadili seseorang. Karena itu yang duduk dalam posisi hakim adalah para pemuka agama. Sama seperti pengadilan modern, seorang hakim dalam menjalankan pekerjaanya dibantu oleh panitera. Pada masa Majapahit panitera disebut dengan Upapatti.

Dalam memutuskan sebuah perkara, para hakim di Kerajaan Majapahit memegang teguh prinsip keadilan (justice), sehingga kepastian hukum (certanity) bisa terwujud dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyak orang juga bisa diwujudkan.

Setidaknya ada dua kasus perselisihan yang terjadi antara para pejabat dengan rakyat biasa. Dalam prasasti Bandasar yang tidak diketahui tanggalnya diuraikan perselisihan milik tanah Manah di desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pejabat dari daerah Sima Tiga.

Untuk menuntaskan kasus tersebut para hakim memangil pihak berperkara lengkap dengan keterangan saksi dari kedua belah pihak. Setelah menelaah kasus dengan seksama dan mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim memutuskan para pembesar Sima Tiga yang diwakili Panji Anawung Harsa kalah. Kemudian tanah tersebut diberikan kepada Mapanji Sarana yang merupakan penduduk desa di Desa Manuk.

Kasus hukum lain yang terjadi antara penduduk desa Walandit dengan para pejabat dari Desa Himad. Para penduduk desa Walandit mendapat tugas memelihara dharma kabuyutan (candi leluhur) di desa Walandit yang merupakan peninggalan Raja Sindok pada pertengahan abad ke-12.

Dalam perkembangannya desa Himad menguasai desa Walandit dan mengklaim candi beserta tanah di sekitarnya. Perkara tersebut lantas diadukan kepada raja. Namun perkara tersebut diputuskan diluar pengadilan (non litigasi). Dalam sengketa tersebut para pejabat Himad dikalahkan, sedangkan orang-orang walandit tetap menjalankan tugasnya menjaga candi leluhur peninggalan Raja Sindok.

source: kabar santri

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment