Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat tidak berhasil karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.

Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya. Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua pejuang itu, hidup atau mati. Rakyat diminta membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu. Imbalan disiapkan. Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f10.000 dan Demang Lehman sebesar f2.000.

Pemerintah Belanda juga mengutus Haji Isa, seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan Pemerintah Belanda terhadap sang Pangeran ini.

Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayatullah, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan misinya, Demang Lehman langsung menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan.

Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen Verspijck.

Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayatullah asalkan Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayatullah sebagai Raja di Martapura.

Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861, Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya.

Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan bakal mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tanggal 6 Oktober 1861, Demang Lehman memasuki Kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang.

Dalam pertemuan empat mata, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menetap di Martapura, Banjarmasin, atau Pelaihari dan mengajak seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerja sama seperti semula.

Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya. Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya.

Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayatullah dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.

9 Oktober 1861, Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda.

Tanggal 30 Desember 1861, Residen GM Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung. Jika perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman.

Tanggal 3 Januari 1862, Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862, Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu.

Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian itu, Ratu Siti, ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paau Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.

Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan tiga hari kemudian sampai di Awang Bangkal. Mereka tiba di Martapura 28 Januari 1862.

Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat.

Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada pukul 10.30. Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23 orang, termasuk Demang Lehman. Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura).

Dalam situasi yang terjepit dan kondisi tidak memungkinkan, Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.

Belanda terus berupaya menyingkirkan Pangeran Hidayat. Mereka melakukan segala tipu daya. Penipuan itu dimulai dengan menangkap Ratu Siti, Ibu Sultan Hidayatullah, 2 Maret 1862.

Pihak Belanda lalu menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi dia sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti. Padahal, semua itu hanya rekayasa dan tipuan. Sultan Hidayatullah pun ditangkap, lalu diasingkan ke Cianjur.

Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Dia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di Gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan.

Oleh seorang bernama Pembarani, dia diajak menginap. Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, Pembarani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa.

Sehabis menunaikan Salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian Demang Lehman diangkut ke Martapura.
Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadapnya. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864.

Selesai digantung dan mati, kepalanya dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment