Model penyelesaian pidana diluar persidangan bertolak dari gagasan restorative justice atau keadilan restoratif yang bertujuan untuk membangun sistem penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kondisi korban yang mana selama ini persidangan pidana yang bertumpu pada pencapain tujuan retributif yaitu pencapain keadilan melalui pembalasan namun dibeberapa hal justru mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya karenanya keadilan yang tercipta adalah keadilan yang semu dan formalistik bukan keadilan yang substantif bagi para pencari keadilan.

Dalam praktik penyelesaian perkara maka dalam dunia advokasi dikenal dengan model penyelesaian litigasi melalui proses persidangan dalam perspektif penyelesaian wind and close dan non litigasi yaitu penyelesaian di luar persidangan dengan perspektif penyelesaian wind wind solutions. Dalam proses litigasi dalam pola restributif maka para pihak saling berlawanan satu sama lain namun demikian jamak diketahui dalam asas hukum pidana juga berlaku adagium “ultimum remidium” yang merupakan saaran terakhir setelah pilihan penyelesaian sengketa lain menemukan titik buntu alias tidak membuahkan hasil.

Restoratif justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dalam khasanah hukum pidana di Indonesia baru dikembangkan dalam praktik perkara yang menyangkut anak dan perempuan namun dibeberapa hal menurut penulis bertolak dari subtansi pencarian keadilan dan keseimbangan untuk membentuk keberadaban maka restoratif justice nampaknya relevan pula untuk diterapkan dalam perkara pidana lainnya meski itu bukan hanya dalam ranah delik aduan atau klacht-delicht, karenanya dalam praktik bisa dikembangkan model penyelesaian pidana dengan mengemas mekanisme mediasi, musyawarah kekeluargaan, tabayun atau islah yang secara subtansi bertujuan untuk menemukan proses keseimbangan dan keadilan baik dalam perspektif privat maupun publik.

Dalam hukum adat yang merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia dan menjadi salah satu sumber hukum kita maka dalam penyelesaian masalah dikenal istilah musyawarah untuk mufakat yang berarti suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati dan etikat baik untuk memecahkan suatu persoalan dengan jalan mencari jalan keluar untuk diambil sebagai keputusan bersama sebagaimana dalam asas dasar negara kita Pancasila pada sila ke empat (4) berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang dapat dimaknai telah terkandung nilai bahwa pentingnya mengutamakan musyawarah untuk mufakat guna mengambil keputusan, karenanya setiap warga negara memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama, termasuk mengeluarkan pendapat dan suaranya dalam bermusyawarah.

Dalam khasanah hukum Islam maka dikenal istilah islah yang memiliki arti yaitu memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, selanjutnya dalam metodologinya maka islah adalah berusaha untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan dan mengajurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya, serta anjuran agar dapat melakukan perbuatan dan berprilaku baik. Islah sendiri berasal dari bahasa arab الإصلاح, bentuk masdar (infinitif) dari akar kata أصلح-يصلح-إصلاحاً, yang diambil dari komponen dasar ص-ل-ح mengandung dua makna yaitu manfaat dan keserasian agar terhindar dari kerusakan oleh karena terdapat kata imbuhan maka berarti menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak.

Dalam beberapa kajian maka islah secara spesifik memiliki pengertian yang terimplementasi dalam bentuk adanya kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian untuk menyelesaikan pertikaian, dari sini maka akan tercapai tujuan yaitu adanya perbaikan dengan cara mempertemukan adanya perbedaan antar pihak yang berselisih melalui cara konsensus dan rekonsiliasi sebagai pencegahan terjadinya permusuhan dan tumbuhnya rasa iri dengki, dengan demikian islah secara subtansi sama dengan metode rekon­siliasi yang berarti proses merestorasi atau memulihkan suatu ke­adaan agar menjadi seperti keadaan semula akibat adanya perubahan dari keadaan semula itu.

Bertolak dari gagasan model penyelesaian masalah dalam uraian singkat tersebut diatas selanjutnya berdasarkan pengalaman hidup manusia sejak lahir hingga meninggal dunia maka yang dalam dinamikanya mengalami apa yang disebut drngan permasalahan baik yang menyangkut kepentingan hak maupun kepentingan kewajiban dalam lalu lintas kehidupan bersosial terlepas dari makna apakah disebut telah mengalami persoalan hukum atau tidak maka pertanyaannya pilihan mana yang akan ditempuh ketika mengalami permasalahan hidup yang melibatkan pihak lain?

Semoga bermanfaat

Semarang, 13/02/20

* Sofyan Mohammad
– Advokat sehari hari tinggal di Desa.
– Ketua Umum Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Kota Salatiga

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment