Untung Surapati memiliki banyak keturunan, terutama di wilayah Jawa Timur. Mereka tersebar di daerah Malang, Lumajang dan sekitarnya.

“Mereka terus melancarkan perlawanan hingga Belanda melakukan kampanye militer ke Ujung Timur Jawa pada tahun 1767-1768,” tulis Sri Margana dalam buku “Ujung Timur Jawa, 1763- 1813 Perebutan Hegemoni Blambangan”.

Tahun 1686, Surapati mendirikan kraton di Pasuruan, Jawa Timur. Kraton yang tidak tunduk pada kekuasaan siapapun. Termasuk kolonial Belanda. Estafet perlawanan dilanjutkan keturunan dan para pengikutnya. Salah satunya Bupati Lumajang, Kartanagara yang merupakan cucu Surapati muncul sebagai pemberontak, bersama saudaranya Bupati Malang, Malayakusuma.

Baca: Pangeran Sambernyawa, Pemberontak yang Ditakuti VOC dan Sekutunya

Kartanagara memilih bersekutu dengan Singasari atau Prabujaka, anak Amangkurat IV (1719-1726) yang menolak pembagian kerajaan Jawa. Usulan membelah kerajaan yang pada tahun 1755-1757 berhasil dilaksanakan (Perjanjian Giyanti), datangnya dari Belanda.

Pangeran Singasari memilih keluar istana dan memberontak bersama putranya yang bernama Raden Mas ke Malang untuk berkoalisi dengan Malayakusuma. Kolaborasi antara Pangeran Mataram Singasari dengan keturunan Surapati membuat Belanda ketar ketir.

Pada akhir Juni 1776. Belanda berhasil menduduki Lumajang tanpa perlawanan berarti. Sebuah pos militer langsung didirikan. Sebanyak dua belas orang prajurit Eropa dan seratus pasukan dari Banger (Probolinggo) disiagakan untuk menjaga Lumajang.

Operasi militer langsung diarahkan ke Kabupaten Malang yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pemberontak. Belanda membuat sayembara. Siapapun yang mampu menangkap Pangeran Singasari dan putranya hidup atau mati dihadiahi 1.000 dollar Spanyol. Sedangkan kepala Bupati Malang, Malayakusuma dan keluarganya dibandrol 500 dollar Spanyol.

Baca: Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Dan Penakluk Hati Hamengku Buwono II

Perang meletus. Malayakusuma mengerahkan 800 pasukan kavaleri yang dipimpin Tirtanagara, saudara termudanya. Mereka menjaga perbatasan Malang dan Lumajang. Dalam serangan gerilya di kawasan gunung Mandaraka, ratusan orang orang Madura dan Surabaya dari pihak Kompeni mati terbunuh. Catatan VOC 3215 menyebut Tirtanagara juga terluka. Pundaknya tertembak dan salah seorang anaknya tewas. Namun ia berhasil menyelamatkan diri dengan berkuda.

Belanda yang sempat mundur kembali memperkuat pasukan dengan meminta kiriman 600 prajurit Madura dari Panembahan Madura. Kekuatan semakin tidak seimbang di pihak keturunan Surapati. Paska pertempuran di gunung Mandaraka, Bupati Malang Malayakusuma beserta seluruh keluarganya meninggalkan Malang.

Baca: Akhir Hidup Jaka Tingkir Perang dengan Anak Angkatnya Sutawijaya

Saudaranya, yakni Bupati Lumajang Kartanagara meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah tempat selatan Gunung Semeru. Pasukan Belanda dengan mudah menguasai Malang. Kota Malang nyaris dalam kondisi kosong saat pasukan Kompeni tiba. Sementara Malayakusuma bersembunyi di Wulu Laras.

Di tempat yang tidak jauh dari Malang itu ia berharap bisa bergabung dengan pasukan Pangeran Singasari dan Raden Mas, putranya. Kekuatan pasukan yang tidak seimbang membuat kekuatan kolaborasi keturunan Surapati dan Pangeran Singasari kocar kacir.

Sebanyak 186 prajurit Eropa, 500 Madura dan 1.600 prajurit Surabaya, Bangil dan Pasuruan dikerahkan Kapten Casper Ledowijk Tropponegro untuk memburu mereka. Pertempuran pecah di Rajegwesi (Sekarang Bojonegoro) yang membuat Raden Mas, putra Pangeran Singasari terpaksa harus keluar dari Rajegwesi.

Bersama Pangeran Singasari, ayahnya Raden Mas bergeser ke wilayah selatan. Mereka berada di Samperak, utara Lodalem dan bergabung dengan pemberontak lain. Mereka berencana kembali ke Malang. Sementara Malayakusuma dan Tirtanagara berada di Sambi Geger, barat daya Samperak.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatan dan sekutunya untuk mengepung dari segala sisi. Dari Srengat pasukan koalisi Belanda menuju Blitar, berlanjut ke Selagurit untuk langsung menyerang lawan yang dalam posisi terjepit. Dari Kediri, Bupati Kediri juga menyiapkan pasukan, ikut memperkuat Belanda.

Baca: Sultan Agung Penggal Adipati Priangan di Alun-Alun Mataram

Belum lagi tambahan pasukan dari Raja Mataram. Pertempuran antara Belanda dengan koalisi keturunan Surapati dan Pangeran Singasari beserta Raden Mas anaknya, berlangsung hampir satu tahun. Pada 16 Juli 1768, Pangeran Singasari atau Parabujaka menyerah di tenggara Lodalem, Kabupaten Malang.

Malayakusuma bersama keluarganya yang sebagian besar wanita dan anak anak terkepung di Sabak, dekat Lodalem. Malayakusuma menyerah dan digelandang menuju Malang.

Di saat beristirahat di pinggir pantai. Malayakusuma tiba tiba merebut sebatang tombak dan menusuk Kopral Smid Van Stam hingga tewas. Melihat itu, seorang pelayan prajurit Belanda sontak mencabut sebilah keris. Malayakusuma langsung ditikamnya. Cucu Surapati tersebut tewas seketika, dengan marah si pelayan melempar jasad Malayakusuma ke laut.

Bagikan:

Leave a Comment